Pertarungan Hewan Buas

Selama pertarungan itu, buaya membuat gerakan cepat mengigit piton hingga tak berdaya.

Seorang fotografer berhasil menangkap momen pertempuran ganas antara seekor jaguar dengan seekor caiman. (Getty Images/Chris Brunskill)

Seorang turis telah memfilmkan pertarungan luar biasa sampai mati antara anjing laut dengan seekor gurita.

Singa yang lebih besar melompat untuk menyelamatkan saudaranya yang diterkam buaya.

Seekor kuda terekam kamera bertarung dengan seekor aligator. Siapa pemenangnya?

Seekor tarantula terlihat memakan ular yang ukurannya lebih besar setelah pertarungan sengit antara keduanya

Seekor burung parkit betina berusaha mati-matian melindungi sarangnya dari serangan kadal yang mencoba memangsa anak-anaknya

Sebuah video menangkap pertarungan epik sampai antara laba-laba mematikan dengan ular berbisa yang terperangkap di jaringnya.

Ia melihat seekor ular piton raksasa sedang bertarung dengan buaya.

Selama pertarungan itu, buaya membuat gerakan cepat mengigit piton hingga tak berdaya.

Seorang fotografer berhasil menangkap momen pertempuran ganas antara seekor jaguar dengan seekor caiman. (Getty Images/Chris Brunskill)

Seorang turis telah memfilmkan pertarungan luar biasa sampai mati antara anjing laut dengan seekor gurita.

Singa yang lebih besar melompat untuk menyelamatkan saudaranya yang diterkam buaya.

Seekor kuda terekam kamera bertarung dengan seekor aligator. Siapa pemenangnya?

Seekor tarantula terlihat memakan ular yang ukurannya lebih besar setelah pertarungan sengit antara keduanya

Seekor burung parkit betina berusaha mati-matian melindungi sarangnya dari serangan kadal yang mencoba memangsa anak-anaknya

Sebuah video menangkap pertarungan epik sampai antara laba-laba mematikan dengan ular berbisa yang terperangkap di jaringnya.

Ia melihat seekor ular piton raksasa sedang bertarung dengan buaya.

Wir verwenden Cookies und Daten, um

Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um

Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.

Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.

Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.

Nationalgeographic.co.id—Di Romawi kuno, tidak ada yang bisa membuat kegiatan di malam hari lebih berkesan seperti menonton venatio. Pertunjukan ini biasanya diadakan di Colosseum atau di Circus Maximus. Melibatkan hewan-hewan eksotis seperti singa, beruang, dan kuda nil yang bertarung satu sama lain. Tidak jarang hewan-hewan eksotis itu diadu melawan venatores — prajurit Romawi yang dilengkapi dengan senjata. Itu adalah pertunjukan venatio, pertarungan brutal dan penuh darah melawan binatang buas di masa Romawi kuno.

Para rakyat jelata dan bangsawan memenuhi tribun Colosseum untuk menikmati acara berdarah dan brutal itu. Beberapa kaisar juga sangat menyukai venatio sehingga pertunjukan diadakan selama 100 hari. Bahkan pernah dalam 1 pertarungan, 500 ekor singa terbunuh.

Awal mula venatio di Romawi

Penonton di Romawi kuno menyukai pertunjukan “penuh darah”, seperti balap kereta dan pertarungan gladiator. Maka tidak heran jika venatio, perburuan satwa liar yang dipentaskan, juga memikat hati orang Romawi.

Menurut beberapa perkiraan, venatio pertama kali pada 252 Sebelum Masehi. Plinius yang Tua mengisahkan venatio yang melibatkan gajah yang ditangkap selama Perang Punisia Pertama. Tapi menurut Plinius, saat itu gajah tersebut tidak dibunuh melainkan hanya dipajang. Pasalnya, sebagian besar orang Romawi belum pernah melihat gajah pada saat itu. Meski terkadang digunakan dalam perang Romawi, binatang buas benar-benar asing bagi warga sipil.

Sejarawan Romawi Livy mencatat bahwa jenderal Romawi Marcus Fulvius Nobilior merayakan kemenangannya di Yunani dengan mengadakan perburuan. “Menurutnya, ini adalah kali pertama venatio diselenggarakan,” ungkap Tim Brinkhof di laman All That Interesting.

"Untuk pertama kalinya kontes atletik diadakan di Roma," tulis Livy. “Dan perburuan dipentaskan di mana singa dan macan kumbang menjadi buruannya. Permainan itu dirayakan dengan hampir semua sumber daya dan variasi yang dapat dikumpulkan oleh seluruh zaman.”

Binatang buas dan lawannya

Untuk menghibur massa, otoritas Romawi mengumpulkan hewan-hewan eksotis dari seluruh kekaisaran yang luas. Mereka mengumpulkan singa Afrika Utara, macan kumbang, dan gajah, beruang dari Skotlandia, Hongaria, dan Austria. Tidak ketinggalan harimau dari Persia, serta buaya dan badak dari India.

Mengumpulkan hewan itu sulit dan berbahaya. Semua hewan itu harus dibawa ke Roma dalam keadaan hidup. Penyair Oppian menggambarkan: “anjing memburu binatang itu dan terompet membingungkannya. Kemudian pemburu mengejar binatang itu ke dalam jaring.”

penelope.uchicago.edu

Damnatio ad bestias, eksekusi mati dengan dicabik-cabik oleh binatang buas.

“Ini adalah bagian yang paling berbahaya karena rahang dan cakar beruang yang murka sangat mengerikan,” tulis Oppian. Untuk menangkap hewan buas, pemburu juga menggunakan lubang perangkap.

Sesampainya di Roma, hewan malang itu akan diadu dengan hewan lain dan manusia.

Kebanyakan ahli membedakan dua jenis pertempuran antara manusia dan hewan. Pertunjukan yang menampilkan pria bersenjata melawan binatang buas adalah venatio. Namun, orang Romawi juga akan melemparkan orang-orang yang dihukum mati ke arena dengan beruang atau harimau yang murka (Damnatio ad Bestias). “Ide ini ditiru dari orang-orang Kartago,” tambah Brinkhof.

Venator (orang yang bertarung dengan hewan buas) memiliki banyak kesamaan dengan gladiator Romawi. Seperti gladiator, mereka biasanya budak, penjahat, atau di bawah kontrak untuk bertarung. Tetapi para venator dianggap lebih buruk daripada gladiator.

Seperti gladiator, para venator dilatih untuk menghadapi binatang liar. Mereka akan menghadiri ludus, atau sekolah pertarungan profesional, sebelum memulai debut. Tidak seperti orang-orang yang dihukum mati, mereka diizinkan menggunakan senjata untuk membela diri.

Pada awalnya, hewan-hewan itu dirantai sehingga para venator dapat dengan mudah membunuh mereka. Tetapi pada 100 Sebelum Masehi, hewan sering dibiarkan berkeliaran dengan bebas. Hal ini mendorong pembangunan tembok tinggi di Colosseum agar hewan tidak bisa keluar dari ring dan menyerang penonton.

Tujuan pertunjukan penuh darah venatio

Ada beberapa alasan mengapa orang Romawi melakukan pertunjukan penuh darah ini. Terkadang, perburuan diatur untuk menghormati dewa, seperti Diana, dewi perburuan. Tidak jarang venatio diselenggarakan untuk merayakan hari jadi, seperti kemenangan masa perang. Peristiwa monumental, seperti pernikahan, pemakaman, atau penobatan seorang kaisar, juga bisa menjadi alasannya.

Sekitar tahun 80 Masehi, bangsa Romawi memiliki sesuatu yang besar untuk dirayakan — peresmian Colosseum. Kaisar Titus menyelenggarakan acara itu, venatio besar-besaran berlangsung selama lebih dari 100 hari. Orang Romawi bersorak saat lebih dari 9.000 hewan disembelih selama pertunjukan berburu.

Trajan, yang menjadi kaisar pada tahun 98 Masehi, ingin memecahkan rekor Titus. Venatio-nya berlangsung lebih dari 120 hari. Masyarakan Romawi disuguhkan acara pembantaian 11.000 hewan.

Beberapa penguasa bahkan ikut terjun dalam pertarungan, seperti Commodus yang dengan penuh semangat turun ke arena. Dikenal sebagai gladiator dan venator amatir, Commodus suka memikirkan cara-cara kreatif untuk membunuh hewan. Dia menciptakan panah berbentuk bulan sabit untuk membunuh burung unta. “Kerumunan orang Romawi menjadi bersemangat saat melihat burung-burung tanpa kepala berlarian,” ujar Brinkhof.

Kaisar lain tidak kalah kreatifnya. Kaisar Probus memerintahkan agar Circus Maximus dihias dengan semak dan pepohonan agar terlihat seperti hutan.

Ia kemudian melepaskan berbagai makhluk eksotis ke semak-semak dan mengundang penonton untuk bergabung dengan perburuan. Hewan apa pun yang mereka tangkap boleh dibawa pulang dan dimakan.

Akhir pertunjukan berdarah venatio

Pada abad ketiga dan keempat, popularitas venatio Romawi kuno mulai menurun. Ini terjadi karena beberapa alasan.

Pertama, bintang pertunjukan—hewan eksotis itu sendiri—semakin sulit ditemukan. Romawi tidak lagi memiliki keuangan atau kekuatan militer untuk menarik hewan-hewan eksotis dari setiap sudut kekaisaran.

Selain itu, adat-istiadat sosial berubah. Gereja mulai memberikan pengaruh yang lebih besar di Romawi. Pada tahun 404 Masehi, seorang biarawan bernama Telemachus melompat ke arena untuk menghentikan beberapa gladiator agar tidak saling bertarung. Dia terbunuh, dan kaisar Honorius kemudian melarang pertandingan gladiator di masa depan.

Pertarungan hewan buas terus berlangsung setelah itu namun tidak lama. “Haus darah” orang Romawi tampaknya sudah mereda. Mereka tidak lagi memiliki selera dan anggaran untuk membantai ribuan hewan selama 100 hari.

Venatio diadakan sampai sekitar abad ketujuh. Para arkeolog menemukan adegan perburuan pada mosaik, keramik, peralatan perak, dan benda-benda lainnya. Ini membuktikan bahwa subjek tersebut tetap populer di kalangan orang Romawi.

Pada saat era venatio berakhir, bangsa Romawi mengubah ekosfer seluruh wilayah kekaisaran. Mulai dari Afrika Utara ke Timur Tengah hingga pantai Mediterania Eropa. Mereka telah membantai banyak hewan hingga punah atau hampir punah.

Baca Juga: Kehidupan Budak di Balik Brutalnya Institusi Perbudakan Romawi

Baca Juga: Di Balik Kepemimpinan Kaisar Romawi, Ada Wanita Kuat dan Berpengaruh

Baca Juga: Silau akan Harta, Alasan Mengapa Orang Romawi Sukses dalam Peperangan

Baca Juga: Cara Orang Romawi Bawa Hewan Buas Ke Colosseum, Ini Penjelasannya

Di antara hewan yang dimusnahkan atau hampir dimusnahkan oleh orang Romawi adalah kuda liar Eropa, lynx Eurasia, gajah Afrika Utara, singa Barbary, dan banyak lainnya. Pada akhirnya, Romawi menyebabkan kematian massal terbesar sejak kepunahan megafauna Pleistosen yang membunuh mamut dan mastodon.

Sementara itu, ekspansi wilayah Romawi yang cepat ditambah dengan praktik pertanian yang tidak bertanggung jawab secara ekologis. Seluruh petak tanah beralih dari subur dan menghijau sampai kering dan tandus. Deforestasi massal dan penjarahan sumber daya alam membuat daerah seperti Sisilia dan sebagian besar Afrika Utara relatif tandus.

Meski venatio telah berakhir, daya tariknya tetap bertahan hingga zaman modern. Orang modern senang mengunjungi kebun binatang, menonton sirkus, dan menikmati pertunjukan lumba-lumba. Namun tentunya, tanpa darah dan kekerasan seperti di zaman Romawi kuno.

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Hewan buas adalah segala hewan yang memiliki agresivitas yang tinggi. Dalam rantai makanan, keberadaan hewan buas menghasilkan keseimbangan alam dalam dunia hewan. Habitat hewan buas utamanya di pegunungan dan hutan. Salah satu hewan buas yang paling sering menyerang manusia ialah beruang. Di sisi lain, gerakan-gerakan hewan buas telah menginspirasi manusia dalam bela diri seperti pencak silat.

Hewan buas memiliki peran penting dalam rantai makanan di dunia. Sebagian besar spesies hewan buas merupakan karnivor pemangsa hewan lainnya. Sementara sebagian lainnya merupakan herbivor yang memakan tumbuhan dalam skala besar. Keberadaan hewan buas karnivor dan herbivor membentuk keseimbangan alam.[1] Hewan buas yang hidup berkelompok lebih mudah memperoleh makanannya dibandingkan dengan hewan buas yang tidak hidup berkelompok.[2]

Beruang memiliki kemampuan menyerang yang kuat karena ukuran tubuhnya besar. Penyerangan beruang ke manusia sangat jarang terjadi, kecuali ketika beruang sakit atau mengalami kesulitan dalam menemukan mangsa alaminya. Kasus pemangsaan beruang atas manusia pernah terjadi pada Juli 2008 di Kamchatka, Rusia. Para beruang membunuh para penjaga keamanan di salah satu lokasi penangkaran ikan salmon akibat kelaparan. Beruang-beruang ini kemudian dibunuh setelah anggota tubuh dari para petugas keamanan ditemukan.

Jenis beruang yang sangat agresif terhadap manusia adalah beruang hitam asia. Ada pula jenis beruang yang temperamennya tidak menentu seperti beruang cokelat eurasia. Beruang cokelat eurasi lebih cenderung menjauhi dan jarang menyerang manusia. Penyerangan beruang cokelat eurasi kepada manusia hanya terjadi ketika merasa terancam atau terkejut. Temperamen yang mudah berubah juga dialami oleh beruang sloth yang habitatnya di Myanmar dan India. Perubahan temperamen yang sulit diperkirakan membuat beruang sloth lebih ditakuti dibandingkan dengan harimau. Selama periode 1989 hingga 1994, di Madhya Pradesh tercatat sebanyak 686 orang dilukai dan 48 orang terbunuh oleh beruang sloth.[3]

Spesies lalat dari famili Asilidae disebut sebagai lalat buas. Penyebutan ini menandakan ciri dari spesiesnya yang bersikap agresifsaat menghadapi mangsa. Pemangasaan dilakukan oleh spesies lalat Asilidae melalui penyerangan yang mendadak dari suatu tempat persembunyian. Penyerangan dengan cara menyuntikkan air liur beracun menggunakan probosis yang ditusukkan ke mangsa. Racun yang memasuki tubuh mangsa kemudian berefek kepada kelumpuhan.[4]

Pembukaan lahan secara besar-besaran oleh manusia membuat hewan buas yang tinggal di pegunungan meninggalkan tempat tinggalnya. Manusia membuka lahan untuk dijadikan ladang dan permukiman. Hewan memilik insting untuk bertahan hidup. Keberadaan manusia membuat mereka merasa diganggu dan merasa terancam. Hewan-hewan kecil yang menghuni pengunungan seperti kancil, rusa dan kera akan meninggalkan habitat mereka. Kepergian mereka bertujuan untuk mencari tempat yang lebih aman dari keberadaan manusia. Kondisi ini akhirnya merusak ekosistem. Hewan-hewan buas pun turut meninggalkan pegunungan karena memerlukan daging sebagai makanan, seperti ular piton dan harimau. Mereka akhirnya mulai memakan hewan ternak dan manusia.[5]

Pada ekosistem hutan, kebanyakan hewan buas merupakan pemangsa bagi hewan-hewan berukuran kecil.[6] Kasus hewan buas memangsa hewan ternak dan manusia juga terjadi pada hutan yang ekosistemnya telah rusak akibat aktivitas manusia.[7]

Inspirasi bagi manusia

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh hewan buas telah menginspirasi gerakan-gerakan dalam olahraga. Salah satunya pada pencak silat yang menjadi bagian dari budaya Indonesia. Gerakan-gerakan dalam pencak silat mencontoh gerakan hewan buas yang hidup di hutan hujan tropis seperti harimau, ular, dan buaya. Peniruan ini untuk dijadikan sebagai cara mempertahankan keberlangsungan hidup. Manusia di Indonesia telah mengembangkan gerakan-gerakan pencak silat sejak masa prasejarah.[8]

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hewan buas adalah segala hewan yang memiliki agresivitas yang tinggi. Dalam rantai makanan, keberadaan hewan buas menghasilkan keseimbangan alam dalam dunia hewan. Habitat hewan buas utamanya di pegunungan dan hutan. Salah satu hewan buas yang paling sering menyerang manusia ialah beruang. Di sisi lain, gerakan-gerakan hewan buas telah menginspirasi manusia dalam bela diri seperti pencak silat.

Hewan buas memiliki peran penting dalam rantai makanan di dunia. Sebagian besar spesies hewan buas merupakan karnivor pemangsa hewan lainnya. Sementara sebagian lainnya merupakan herbivor yang memakan tumbuhan dalam skala besar. Keberadaan hewan buas karnivor dan herbivor membentuk keseimbangan alam.[1] Hewan buas yang hidup berkelompok lebih mudah memperoleh makanannya dibandingkan dengan hewan buas yang tidak hidup berkelompok.[2]

Beruang memiliki kemampuan menyerang yang kuat karena ukuran tubuhnya besar. Penyerangan beruang ke manusia sangat jarang terjadi, kecuali ketika beruang sakit atau mengalami kesulitan dalam menemukan mangsa alaminya. Kasus pemangsaan beruang atas manusia pernah terjadi pada Juli 2008 di Kamchatka, Rusia. Para beruang membunuh para penjaga keamanan di salah satu lokasi penangkaran ikan salmon akibat kelaparan. Beruang-beruang ini kemudian dibunuh setelah anggota tubuh dari para petugas keamanan ditemukan.

Jenis beruang yang sangat agresif terhadap manusia adalah beruang hitam asia. Ada pula jenis beruang yang temperamennya tidak menentu seperti beruang cokelat eurasia. Beruang cokelat eurasi lebih cenderung menjauhi dan jarang menyerang manusia. Penyerangan beruang cokelat eurasi kepada manusia hanya terjadi ketika merasa terancam atau terkejut. Temperamen yang mudah berubah juga dialami oleh beruang sloth yang habitatnya di Myanmar dan India. Perubahan temperamen yang sulit diperkirakan membuat beruang sloth lebih ditakuti dibandingkan dengan harimau. Selama periode 1989 hingga 1994, di Madhya Pradesh tercatat sebanyak 686 orang dilukai dan 48 orang terbunuh oleh beruang sloth.[3]

Spesies lalat dari famili Asilidae disebut sebagai lalat buas. Penyebutan ini menandakan ciri dari spesiesnya yang bersikap agresifsaat menghadapi mangsa. Pemangasaan dilakukan oleh spesies lalat Asilidae melalui penyerangan yang mendadak dari suatu tempat persembunyian. Penyerangan dengan cara menyuntikkan air liur beracun menggunakan probosis yang ditusukkan ke mangsa. Racun yang memasuki tubuh mangsa kemudian berefek kepada kelumpuhan.[4]

Pembukaan lahan secara besar-besaran oleh manusia membuat hewan buas yang tinggal di pegunungan meninggalkan tempat tinggalnya. Manusia membuka lahan untuk dijadikan ladang dan permukiman. Hewan memilik insting untuk bertahan hidup. Keberadaan manusia membuat mereka merasa diganggu dan merasa terancam. Hewan-hewan kecil yang menghuni pengunungan seperti kancil, rusa dan kera akan meninggalkan habitat mereka. Kepergian mereka bertujuan untuk mencari tempat yang lebih aman dari keberadaan manusia. Kondisi ini akhirnya merusak ekosistem. Hewan-hewan buas pun turut meninggalkan pegunungan karena memerlukan daging sebagai makanan, seperti ular piton dan harimau. Mereka akhirnya mulai memakan hewan ternak dan manusia.[5]

Pada ekosistem hutan, kebanyakan hewan buas merupakan pemangsa bagi hewan-hewan berukuran kecil.[6] Kasus hewan buas memangsa hewan ternak dan manusia juga terjadi pada hutan yang ekosistemnya telah rusak akibat aktivitas manusia.[7]

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh hewan buas telah menginspirasi gerakan-gerakan dalam olahraga. Salah satunya pada pencak silat yang menjadi bagian dari budaya Indonesia. Gerakan-gerakan dalam pencak silat mencontoh gerakan hewan buas yang hidup di hutan hujan tropis seperti harimau, ular, dan buaya. Peniruan ini untuk dijadikan sebagai cara mempertahankan keberlangsungan hidup. Manusia di Indonesia telah mengembangkan gerakan-gerakan pencak silat sejak masa prasejarah.[8]