KEMUNGKINAN KETERLIBATAN MILITER NUKLIR
Salah satu faktor paling mengkhawatirkan yang dapat memicu Perang Dunia ke-3 adalah keterlibatan negara-negara dengan kekuatan militer nuklir dalam konflik di Timur Tengah. Iran, sebagai salah satu negara di kawasan tersebut, memiliki program nuklir yang kontroversial. Jika negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau Israel melihat Iran sebagai ancaman langsung, tindakan militer untuk mencegah perkembangan nuklir bisa memicu reaksi berantai yang berujung pada eskalasi global.
Potensi konflik di Timur Tengah untuk memicu Perang Dunia ke-3 bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Dengan kompleksitas geopolitik, kepentingan ekonomi, dan perseteruan sektarian, wilayah ini selalu berada di pusat perhatian internasional. Untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, dibutuhkan diplomasi yang efektif serta keterlibatan komunitas internasional untuk menciptakan solusi damai yang berkelanjutan. Hanya dengan cara ini kita bisa menghindari risiko konflik global yang lebih besar.
All Channels MARKET NEWS ENTREPRENEUR SHARIA TECH LIFESTYLE OPINI MY MONEY CUAP CUAP CUAN RESEARCH
All Article Types Artikel Foto Video Infografis
Perang Dunia III atau Perang Dunia Ketiga, sering disingkat sebagai PD III atau PD 3, adalah nama yang diberikan untuk konflik militer hipotetis skala besar ketiga di seluruh dunia setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Istilah ini telah digunakan setidaknya sejak 1941. Istilah ini kadang juga digunakan untuk merujuk pada konflik yang terbatas atau konflik yang kecil seperti Perang Dingin atau perang melawan terorisme. Sebaliknya, ada pula asumsi bahwa Perang Dunia III akan melampaui perang dunia sebelumnya baik dalam lingkup dan dampak destruktif.[1]
Potensi risiko kiamat nuklir yang menyebabkan kehancuran luas peradaban dan kehidupan Bumi adalah tema umum dalam spekulasi tentang perang dunia ketiga. Hal ini terutama didorong oleh pengembangan senjata nuklir di Proyek Manhattan, yang digunakan dalam pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki menjelang akhir Perang Dunia II, serta akuisisi serta penyebaran senjata nuklir oleh banyak negara setelahnya. Kekhawatiran utama lainnya adalah berkembangnya perang biologis yang dapat menyebabkan banyak korban. Perang ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, misalnya akibat pelepasan agen biologis yang tidak disengaja, mutasi agen yang tidak terduga, atau adaptasi senjata biologis menjadi spesies lain setelah digunakan. Peristiwa apokaliptik skala besar seperti ini, yang disebabkan oleh teknologi senjata pemusnah dan penghancur canggih, dapat mengakibatkan permukaan Bumi tidak dapat dihuni.
Sebelum dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, Perang Dunia I (1914–1918) diyakini sebagai "perang untuk mengakhiri [semua] perang". Secara populer diyakini bahwa tidak akan pernah lagi mungkin ada konflik global sebesar itu. Selama periode antar perang, Perang Dunia I biasanya hanya disebut sebagai "Perang Besar". Pecahnya Perang Dunia II menyangkal harapan bahwa umat manusia telah berhasil mencegah terjadinya perang global yang meluas.[2]
Dengan munculnya Perang Dingin pada tahun 1945 dan dengan penyebaran teknologi senjata nuklir ke Uni Soviet, kemungkinan konflik global ketiga menjadi lebih masuk akal. Selama tahun-tahun Perang Dingin, kemungkinan perang dunia ketiga diantisipasi dan direncanakan oleh otoritas militer dan sipil di banyak negara. Skenario ini berkisar dari perang konvensional hingga perang nuklir terbatas atau total. Pada puncak Perang Dingin, doktrin penghancuran bersama (MAD "Mutually Assured Destruction" ), yang menetapkan bahwa konfrontasi nuklir habis-habisan akan menghancurkan semua negara yang terlibat dalam konflik, telah dikembangkan. Potensi kehancuran mutlak spesies manusia mungkin telah berkontribusi pada kemampuan para pemimpin Amerika dan Soviet untuk menghindari skenario tersebut.
Sejumlah opini telah menyatakan keprihatinan bahwa invasi Rusia 2022 yang sedang berlangsung ke Ukraina dapat meningkat menjadi Perang Dunia III.[3][4][5] Pada April 2022, televisi pemerintah Rusia menyatakan bahwa perang dunia ketiga telah dimulai, memberitahu Rusia untuk "mengakui" bahwa negara itu sekarang "berperang melawan infrastruktur NATO, jika bukan NATO sendiri" di Ukraina..[6]
Perencana militer telah menciptakan berbagai skenario, yang bersiap untuk bagian yang terburuk, sejak hari-hari awal Perang Dingin. Beberapa dari rencana tersebut sekarang sudah usang dan telah dibuka sebagian atau seluruhnya.
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill khawatir bahwa, dengan besarnya jumlah pasukan Soviet yang dikerahkan di Eropa pada akhir Perang Dunia II dan pemimpin Soviet Joseph Stalin yang tidak dapat diandalkan, ada ancaman serius bagi Eropa Barat. Pada April – Mei 1945, Angkatan Bersenjata Inggris mengembangkan Operasi Unthinkable, yang dianggap sebagai skenario pertama Perang Dunia Ketiga.[7] Tujuan utamanya adalah "untuk memaksakan keinginan Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris kepada Rusia".[8] Rencana tersebut ditolak oleh Kepala Staf Komite Inggris karena tidak sah secara militer.
"Operation Dropshot" adalah rencana kontingensi Amerika Serikat tahun 1950-an untuk kemungkinan perang nuklir dan konvensional dengan Uni Soviet di teater Eropa dan Asia Barat. Meskipun skenario tersebut menggunakan senjata nuklir, mereka tidak diharapkan tidak akan terlibat.
Pada saat persenjataan nuklir AS terbatas jumlahnya, sebagian besar berbasis di Amerika Serikat, dan bergantung pada pengirim pembom-nya. "Dropshot" merupakan misi yang akan menggunakan 300 bom nuklir dan 29.000 bom dengan daya ledak tinggi sekitar 200 target di 100 kota besar dan kecil untuk memusnahkan 85% potensi industri Uni Soviet dengan satu pukulan. Sekitar 75 dan 100 dari 300 senjata nuklir ditargetkan untuk menghancurkan pesawat tempur Soviet di darat.
Skenario ini dirancang sebelum pengembangan rudal balistik antarbenua. Hal ini juga dirancang sebelum Presiden AS John F. Kennedy dan Menteri Pertahanan-nya Robert McNamara mengubah rencana AS Perang Nuklir dari 'kota pembunuhan' imbangan rencana pemogokan untuk"penangkis" Rencana (ditargetkan lebih lanjut di pasukan militer). Senjata nuklir saat ini belum cukup akurat untuk menghantam pangkalan angkatan laut tanpa menghancurkan kota yang berdekatan dengannya, sehingga tujuan penggunaannya adalah untuk menghancurkan kapasitas industri musuh dalam upaya melumpuhkan ekonomi perang mereka.
Pada Januari 1950, Dewan Atlantik Utara menyetujui strategi penahanan militer NATO.[9] Perencanaan militer NATO menjadi semakin mendesak setelah pecahnya Perang Korea pada awal 1950-an, yang akhirnya mendorong NATO untuk membentuk "kekuatan di bawah komando terpusat, yang memadai untuk mencegah agresi dan untuk memastikan pertahanan Eropa Barat". Komando Sekutu Eropa didirikan di bawah Jenderal Angkatan Darat Dwight D. Eisenhower, Angkatan Darat AS, pada 2 April 1951. The Western Union Organisasi Pertahanan sebelumnya melakukan Latihan Verity, latihan multilateral tahun 1949 yang melibatkan serangan udara angkatan laut dan serangan kapal selam. Latihan Mainbrace mengumpulkan 200 kapal dan lebih dari 50.000 personel untuk melatih pertahanan Denmark dan Norwegia dari serangan Soviet pada tahun 1952. Ini merupakan latihan besar NATO yang pertama.[10][11] Latihan itu dipimpin bersama oleh Komandan Tertinggi Sekutu Laksamana Atlantik Lynde D. McCormick, USN, dan Komandan Tertinggi Sekutu Eropa Jenderal Matthew B Ridgeway, dari Angkatan Darat AS, selama musim gugur tahun 1952.
Latihan Grand Slam dan Longstep adalah latihan angkatan laut yang diadakan di Laut Mediterania selama tahun 1952 untuk melatih bagaimana mengusir pasukan pendudukan musuh dan penyerangan amfibi. Ini melibatkan lebih dari 170 kapal perang dan 700 pesawat di bawah komando keseluruhan Laksamana Robert B. Carney. Komandan latihan militer, Laksamana Carney merangkum pencapaian Latihan Grand Slam dengan menyatakan: "Kami telah menunjukkan bahwa komandan senior dari keempat kekuatan dapat berhasil mengambil alih gugus tugas campuran dan menanganinya secara efektif sebagai unit kerja."
Uni Soviet menyebut latihan tersebut sebagai "tindakan seperti perang" oleh NATO, dengan sumber khusus bahwa partisipasi Norwegia dan Denmark, dan mempersiapkan manuver militernya sendiri di Zona Soviet.[12][13]
"Latihan Strikeback" adalah latihan besar angkatan laut NATO yang diadakan pada tahun 1957, yang mensimulasikan respons terhadap serangan habis-habisan Soviet terhadap NATO. Latihan ini melibatkan lebih dari 200 kapal perang, 650 pesawat, dan 75.000 personel dari Angkatan Laut Amerika Serikat, Royal Navy Britania Raya, Royal Canadian Navy, Angkatan Laut Prancis, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, dan Angkatan Laut Kerajaan Norwegia. Latihan ini dianggap sebagai operasi angkatan laut masa damai terbesar hingga saat itu, Latihan Serangan balik ini dianggap oleh analis militer Hanson W. Baldwin dari The New York Times sebagai "merupakan armada penyerang terkuat yang dikumpulkan sejak Perang Dunia II".[14]
Latihan Reforger (dari return forces for Germany) adalah latihan tahunan yang dilakukan, selama Perang Dingin, oleh NATO. Latihan itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa NATO memiliki kemampuan untuk segera mengerahkan pasukan ke Jerman Barat jika terjadi konflik dengan Pakta Warsawa. Pakta Warsawa memiliki kekuatan konvensional melebihi jumlah NATO selama Perang Dingin, terutama hal kendaraan lapis baja. Oleh karena itu, jika terjadi invasi Soviet, agar tidak menggunakan serangan nuklir taktis, pasukan NATO yang menahan garis melawan ujung tombak kendaraan lapis baja Pakta Warsawa harus segera disuplai dan diganti. Sebagian besar dari dukungan ini akan datang dari seberang Atlantik Amerika Utara.
Reforger bukan hanya unjuk kekuatan — jika terjadi konflik, latihan akan menjadi rencana aktual untuk memperkuat kehadiran NATO di Eropa. Dalam hal ini, latihan ini akan disebut sebagai Operasi Reforger. Komponen penting dalam Reforger termasuk Komando Pengangkutan Udara Militer, Komando Pengangkutan Laut Militer, dan Armada Udara Cadangan Sipil.
"Tujuh hari ke Sungai Rhine" adalah latihan simulasi militer rahasia yang dikembangkan pada tahun 1979 oleh Pakta Warsawa.[15] Ini dimulai dengan perkiraan bahwa NATO akan melancarkan serangan nuklir di lembah sungai Vistula dalam skenario serangan pertama, yang akan mengakibatkan sebanyak dua juta korban sipil Polandia. Sebagai tanggapan, serangan balik Soviet akan dilakukan terhadap Jerman Barat, Belgia, Belanda dan Denmark, dengan pasukan Pakta Warsawa menyerang Jerman Barat dan bertujuan untuk berhenti di Sungai Rhine pada hari ketujuh. Rencana Uni Soviet lainnya berhenti hanya setelah mencapai perbatasan Prancis pada hari kesembilan. Masing-masing negara bagian Pakta Warsawa hanya diberi bagian gambar strategis mereka sendiri; dalam hal ini, pasukan Polandia diharapkan hanya maju sampai ke Jerman. Rencana Tujuh Hari ke Rhine membayangkan bahwa sebagian besar wilayah Polandia dan Jerman akan dihancurkan oleh ledakan nuklir, dan sejumlah besar pasukan akan mati karena radiasi nuklir. Diperkirakan NATO akan menembakkan senjata nuklir di belakang garis Soviet yang bergerak maju untuk memutus jalur pasokan mereka dan dengan demikian mengumpulkan kemajuan mereka. Sementara rencana ini mengasumsikan bahwa NATO akan menggunakan senjata nuklir untuk mendorong kembali setiap invasi Pakta Warsawa, hal itu tidak termasuk dalam serangan nuklir ke Prancis atau Inggris. Surat kabar berspekulasi ketika rencana ini dideklasifikasi, Prancis dan Inggris tidak boleh diserang dalam upaya membuat mereka menahan penggunaan senjata nuklir mereka sendiri.
"Able Archer 83" adalah latihan pos komando Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) lima hari dan dimulai pada 7 November 1983, yang membentang di Eropa Barat, berpusat di Markas Besar Tertinggi Sekutu Eropa (SHAPE) Markas Besar di Casteau, utara kota Mons. Latihan Able Archer mensimulasikan periode eskalasi konflik, yang berpuncak pada serangan nuklir terkoordinasi.
Sifat realistis dari latihan tahun 1983, ditambah dengan memburuknya hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan antisipasi kedatangan rudal nuklir strategis Pershing II di Eropa, membuat beberapa anggota Politbiro dan militer Soviet percaya bahwa Able Archer 83 adalah tipu muslihat, yang mengaburkan persiapan untuk serangan nuklir pertama yang asli. Sebagai tanggapan, Soviet menyiapkan kekuatan nuklir mereka dan menempatkan unit udara di Jerman Timur dan Polandia dalam keadaan siaga. "Ketakutan perang tahun 1983" dianggap oleh banyak sejarawan sebagai yang paling dekat dengan perang nuklir dunia sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Ancaman perang nuklir berakhir dengan berakhirnya latihan pada 11 November.[16][16][17][18][19][20][21][22][23]
Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI) diusulkan oleh Presiden AS Ronald Reagan pada tanggal 23 Maret 1983.[24] Di akhir masa kepresidenannya, banyak faktor (termasuk penonton di film 1983 The Day After dan kejadiannya didengarkan melalui pemberontak Soviet Archer 83 yang hampir memicu serangan pertama Rusia) telah membuat Ronald Reagan menentang konsep perang nuklir yang dapat dimenangkan, dan dia mulai melihat senjata nuklir lebih sebagai "kartu liar" daripada pencegah strategis. Meskipun ia kemudian percaya pada perjanjian pelucutan senjata yang secara perlahan mengumpulkan bahaya persenjataan nuklir dengan mengurangi jumlah dan status kewaspadaan mereka, ia juga percaya bahwa solusi teknologi dapat memungkinkan ICBM yang masuk akan ditembak jatuh, sehingga membuat AS kebal terhadap serangan pertama. Namun, Uni Soviet melihat konsep SDI sebagai ancaman besar, karena penyebaran sistem secara sepihak akan memungkinkan AS untuk melancarkan serangan pertama besar-besaran terhadap Uni Soviet tanpa rasa takut akan pembalasan.
Konsep SDI menggunakan sistem berbasis darat dan ruang angkasa untuk melindungi Amerika Serikat dari serangan rudal balistik nuklir strategis. Inisiatif ini berfokus pada pertahanan strategis daripada doktrin pelanggaran strategis sebelumnya dari Mutual Assured Destruction (MAD). Organisasi Inisiatif Pertahanan Strategis (SDIO) didirikan pada tahun 1984 di dalam Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengawasi Inisiatif Pertahanan Strategis.
Rencana operasional NATO untuk Perang Dunia Ketiga telah melibatkan sekutu NATO yang tidak memiliki senjata nuklir, yang menggunakan senjata nuklir yang dipasok oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari rencana umum perang NATO, di bawah arahan Panglima Tertinggi Sekutu NATO.[25][26][27][28]
Dari tiga kekuatan nuklir di NATO (Prancis, Britania Raya, dan Amerika Serikat) hanya Amerika Serikat yang menyediakan senjata untuk pembagian nuklir. Sampai November 2009, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan Turki masih menjadi tuan rumah senjata nuklir AS sebagai bagian dari kebijakan pembagian nuklir NATO. Kanada memiliki senjata nuklir sampai tahun 1984, dan Yunani sampai tahun 2001. Senjata nuklir taktis Britania Raya dari AS juga menerima seperti artileri nuklir dan misil Lance hingga 1992, meskipun Inggris adalah negara yang memiliki senjata nuklirnya sendiri; walaupun kebanyakan disimpan di Jerman.
Di masa damai, senjata nuklir yang disimpan di negara-negara non-nuklir dijaga oleh penerbang AS meskipun sebelumnya beberapa sistem artileri dan rudal dijaga oleh tentara Angkatan Darat AS; kode yang diperlukan untuk meledakkannya berada di bawah kendali Amerika. Jika terjadi perang, senjata harus dipasang di pesawat tempur negara kontestan. Senjata-senjata tersebut berada di bawah pengawasan dan kendali Skuadron Dukungan Munisi USAF yang ditempatkan di pangkalan operasi utama NATO yang bekerja sama dengan pasukan negara tuan rumah.[29]
Pada tahun 2005, 180 bom nuklir taktis B61 dari 480 senjata nuklir AS yang diyakini akan ditempatkan di Eropa berada di bawah pengaturan pembagian nuklir.[30] Senjata tersebut disimpan di dalam lemari besi di tempat penampungan pesawat yang diperkuat, menggunakan Sistem Penyimpanan dan Keamanan Senjata USAF WS3. Pesawat tempur pengiriman yang digunakan adalah F-16 Fighting Falcons dan Panavia Tornados.[31]
Perang Dunia II atau Perang Dunia Kedua (bahasa Inggris: World War II) (biasa disingkat menjadi PDII atau PD2) adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan puluhan negara di seluruh penjuru dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan pengetahuan ilmiahnya untuk keperluan perang, sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holokaus dan pemakaian senjata destruktif dalam peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.[1]
Banyak ahli berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai saat invasi Kerajaan Italia menuju Kerajaan Ethiopia pada tanggal 3 Oktober 1935 dan berakhir dengan kapitulasi Kerajaan Ethiopia pada tanggal 5 Mei 1936
Ada juga yang berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai dengan Perang Sino-Jepang 2, dengan tujuan mendapatkan lebih banyak pengaruh di kawasan asia dan mendapatkan SDA Tiongkok.
Tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan invasi ke Polandia oleh Jerman yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Prancis dan Britania Raya pada tanggal 3 September 1939. Sejak akhir tahun 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman membentuk aliansi Poros bersama Italia, menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik. Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang menandakan terbukanya invasi darat terbesar sepanjang sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.
Serbuan Poros berhenti pada tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut seperti Pertempuran Midway serta mengalami kemunduran di front China. Tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara, Normandy dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur, invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara strategis di semua front. Tahun 1944, pihak Sekutu menyerbu Prancis, sementara Uni Soviet merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok di Eropa Timur dan menyerbu Jerman beserta sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan Polandia dan penyerahan tanpa syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945, Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti dengan menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros.
Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[1] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dingin yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk mulai menjalani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.
Awal terjadinya perang umumnya disetujui pada tanggal 1 September 1939, dimulai dengan invasi Jerman ke Polandia; Britania dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian. Tanggal lain mengenai awal perang ini adalah dimulainya Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada 7 Juli 1937.[2][3]
Lainnya mengikuti sejarawan Britania Raya A. J. P. Taylor, yang percaya bahwa Perang Tiongkok-Jepang dan perang di Eropa beserta koloninya terjadi bersamaan dan dua perang ini bergabung pada tahun 1941. Artikel ini memakai penanggalan konvesional. Tanggal-tanggal awal lainnya yang sering dipakai untuk Perang Dunia II juga meliputi invasi Italia ke Abisinia pada tanggal 3 Oktober 1935.[4] Sejarawan Britania Raya Antony Beevor memandang awal Perang Dunia Kedua terjadi saat Jepang menyerbu Manchuria bulan Agustus 1939.[5]
Tanggal pasti akhir perang juga tidak disetujui secara universal. Dari dulu disebutkan bahwa perang berakhir saat gencatan senjata 14 Agustus 1945 (V-J Day), alih-alih penyerahan diri resmi Jepang (2 September 1945); di sejumlah teks sejarah Eropa, perang ini berakhir pada V-E Day (8 Mei 1945). Meski begitu, Perjanjian Damai dengan Jepang baru ditandatangani pada tahun 1951,[6] dan dengan Jerman pada tahun 1990.[7]
Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hungaria, Kekaisaran Jerman, Kerajaan Bulgaria dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang seperti Prancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta dari runtuhnya Austria-Hungaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Meski muncul gerakan pasifis setelah Perang Dunia I,[8][9] kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang dengan jumlah besar, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya hingga menjadi 100.000 tentara tanpa angkatan udara serta ukuran tonase kapal perang maksimal ⅓ dari kapal terbesar Britania Raya
Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan kemenangan tentara merah dan menuju sebuah pemerintahan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Prancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dengan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".[10]
Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.[11]
Partai Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Tiongkok pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis.[12] Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Tiongkok[13] sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo.[14]
Terlalu lemah melawan Jepang, Tiongkok meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan sukarelawan Tiongkok melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.[15]
Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Dikarenakan Partai Nazi menjadi partai terbesar di parlemen saat itu. Setelah Presiden Hindenburg meninggal, ia mendeklarasikan diri sebagai Fuhrer Jerman Nazi. Ia menghapus demokrasi, menciptakan rezim yang mementingkan chauvinisme, dan segera memulai serangkaian program pembangunan kembali ekonomi Jerman yang terpuruk dan kampanye persenjataan kembali.[16] Sementara itu, Prancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu kembali setelah Hitler memerintahkan untuk menganeksasinya kedalam teritori Jerman Nazi.
Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Prancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Prancis. Sebelum diberlakukan, pakta Prancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna.[17][18] Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus.[19] Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.[20]
Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[21] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru,[22] berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di Tiongkok, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.[23]
Poros runtuh, Sekutu menang (1945)
Tanggal 16 Desember 1944, Jerman mengupayakan kesuksesan terakhirnya di Front Barat dengan mengerahkan sisa-sisa pasukan cadangannya untuk melancarkan serangan balasan massal di Ardennes untuk memecah belah Sekutu Barat, mengepung sebagian besar tentara Sekutu Barat dan menaklukkan pelabuhan suplai utama mereka di Antwerp demi mencapai penyelesaian politik.[221] Pada Januari, serangan ini digagalkan tanpa satu tujuan strategis pun yang tercapai.[221] Di Italia, Sekutu Barat tetap buntu di garis pertahanan Jerman. Pada pertengahan Januari 1945, Soviet menyerbu Polandia, bergerak dari Sungai Vistula ke Sungai Oder di Jerman, dan menduduki Prusia Timur.[222] Tanggal 4 Februari, para pemimpin A.S., Britania Raya, dan Soviet bertemu di Konferensi Yalta. Mereka menyetujui pendudukan di Jerman pascaperang,[223] dan Uni Soviet bergabung dalam perang melawan Jepang.[224]
Pada bulan Februari, Soviet menginvasi Silesia dan Pomerania, sementara Sekutu Barat memasuki Jerman Barat dan mendekati Sungai Rhine. Bulan Maret, Sekutu Barat melintasi Rhine di utara dan selatan Ruhr, mengepung Grup Agkatan Darat Jerman B,[225] sementara Soviet melaju ke Wina. Pada awal April, Sekutu Barat akhirnya berhasil membuat kemajuan di Italia dan bergerak melintasi Jerman Barat, sementara pasukan Soviet menyerbu Berlin pada akhir April; kedua pasukan bertemu di sungai Elbe tanggal 25 April. Tanggal 30 April 1945, Reichstag diduduki dan menandakan kekalahan militer Reich Ketiga.[226]
Sejumlah perubahan kepemimpinan terjadi pada masa ini. Tanggal 12 April, Presiden A.S. Roosevelt meninggal dunia dan digantikan oleh Harry Truman. Benito Mussolini dibunuh oleh partisan Italia tanggal 28 April.[227] Dua hari kemudian, Hitler bunuh diri dan digantikan oleh Laksamana Agung Karl Dönitz.[228]
Pasukan Jerman menyerah di Italia pada tanggal 29 April. Instrumen Penyerahan Diri Jerman ditandatangani tanggal 7 Mei di Reims,[229] dan diratifikasi tanggal 8 Mei di Berlin.[230] Pusat Grup Angkatan Darat Jerman bertahan di Praha sampai 11 Mei.[231]
Di teater Pasifik, pasukan Amerika Serikat dibantu Persemakmuran Filipina bergerak maju di Filipina, membebaskan Leyte pada akhir April 1945. Mereka mendarat di Luzon bulan Januari 1945 dan mencaplok Manila bulan Maret setelah pertempuran yang menghancurkan kota ini. Pertempuran berlanjut di Luzon, Mindanao dan pulau-pulau lain di Filipina sampai berakhirnya perang.[232]
Bulan Mei 1945, tentara Australia mendarat di Kalimantan dan menduduki ladang minyak di sana. Pasukan Britania, Amerika Serikat, dan Tiongkok mengalahkan Jepang di Burma utara pada bulan Maret, dan Britania mencapai Rangoon pada tanggal 3 Mei.[233] Pasukan Tiongkok mulai balas menyerang pada Pertempuran Hunan Barat yang pecah antara 6 April dan 7 Juni 1945. Pasukan Amerika Serikat juga bergerak ke Jepang, mencaplok Iwo Jima pada bulan Maret, dan Okinawa pada akhir Juni.[234] Pesawat pengebom Amerika Serikat menghancurkan kota-kota Jepang dan kapal selam Amerika Serikat memutuskan impor Jepang.[235]
Tanggal 11 Juli, para pemimpin Sekutu bertemu di Potsdam, Jerman. Mereka menyetujui perjanjian awal tentang Jerman,[236] dan menegaskan tuntutan penyerahan diri semua pasukan Jepang, dengan menyatakan bahwa "alternatif bagi Jepang adalah kehancuran dalam waktu singkat".[237] Dalam konferensi ini, Britania Raya mengadakan pemilu dan Clement Attlee menggantikan Churchill sebagai Perdana Menteri.[238]
Saat Jepang terus mengabaikan persyaratan Potsdam, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada awal Agustus. Di antara kedua pengeboman ini, Soviet, sesuai perjanjian Yalta, menyerbu Manchuria dudukan Jepang dan dengan cepat mengalahkan Angkatan Darat Kwantung yang saat itu merupakan pasukan tempur Jepang terbesar.[239][240] Pasukan Merah juga menduduki Pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah dengan penandatanganan dokumen penyerahan diri di atas geladak kapal perang Amerika Serikat USS Missouri pada tanggal 2 September 1945, sehingga mengakhiri perang ini.[229]
Sekutu mendirikan pemerintahan pendudukan di Austria dan Jerman. Negara pertama menjadi negara netral dan tidak memihak dengan blok politik manapun. Negara terakhir dibelah menjadi zona pendudukan barat dan timur yang dikuasai Sekutu Barat dan Uni Soviet. Program denazifikasi di Jerman melibatkan pengadilan penjahat perang Nazi dan penggulingan mantan Nazi dari kekuasaan, meski kebijakan ini lebih condong ke amnesti dan reintegrasi mantan Nazi ke masyarakat Jerman Barat.[241]
Jerman kehilangan seperempat wilayahnya sebelum perang (1937), wilayah timur: Silesia, Neumark dan sebagian besar Pomerania diambil alih Polandia; Prusia Timur dibagi antara Polandia dan Uni Soviet, diikuti dengan pengusiran 9 juta warga Jerman dari provinsi-provinsi tersebut, serta 3 juta warga Jerman dari Sudetenland di Cekoslowakia ke Jerman. Pada 1950-an, satu dari lima orang Jerman Barat adalah pengungsi dari timur. Uni Soviet juga menduduki provinsi milik Polandia di sebelah timur Garis Curzon (melibatkan pengusiran 2 juta warga Polandia),[242] Rumania Timur,[243][244] dan sebagian Finlandia timur,[245] serta tiga negara Baltik.[246][247]
Demi mempertahankan perdamaian,[248] Sekutu mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang resmi berdiri tanggal 24 Oktober 1945,[249] dan mengadopsi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 sebagai standar umum bagi semua negara anggotanya.[250] Kekuatan-kekuatan besar yang menjadi pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.[1] Kelima anggota tetap ini masih ada sampai sekarang, meski terjadi perubahan dua kursi, antara Republik Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok tahun 1971, dan antara Uni Soviet dan negara penggantinya, Federasi Rusia, setelah pembubaran Uni Soviet. Aliansi antara Sekutu Barat dan Uni Soviet mulai memburuk, bahkan sejak sebelum perang berakhir.[251]
Jerman dibagi secara de facto, dan dua negara merdeka, Republik Federal Jerman dan Republik Demokratis Jerman[252] dibentuk di dalam perbatasan zona pendudukan Sekutu dan Soviet. Seluruh Eropa terbagi antara cakupan pengaruh Barat dan Soviet.[253] Kebanyakan negara Eropa timur dan tengah masuk dalam cakupan Soviet yang melibatkan pendirian rezim-rezim Komunis dengan dukungan penuh atau setengah dari otoritas pendudukan Soviet. Akibatnya, Polandia, Hungaria,[254] Cekoslowakia,[255] Rumania, Albania,[256] dan Jerman Timur menjadi negara satelit Soviet. Yugoslavia Komunis melaksanakan kebijakan merdeka penuh yang menciptakan ketegangan dengan Uni Soviet.[257]
Pembagian dunia pascaperang diresmikan oleh dua aliansi militer internasional, NATO pimpinan Amerika Serikat dan Pakta Warsawa pimpinan Soviet;[258] periode panjang ketegangan politik dan persaingan militer di antara mereka, Perang Dingin, akan dilengkapi oleh perlombaan senjata dan perang proksi yang tidak terduga.[259]
Di Asia, Amerika Serikat memimpin pendudukan Jepang dan menguasai bekas pulau-pulau Jepang di Pasifik Barat, sementara Soviet menganeksasi Sakhalin dan Kepulauan Kuril.[260] Korea, sebelumnya di bawah kekuasaan Jepang, dibagi dan diduduki oleh Amerika Serikat di Selatan dan Uni Soviet di Utara antara 1945 dan 1948. Republik terpisah muncul di kedua sisi garis paralel ke-38 pada tahun 1948, masing-masing mengklaim sebagai pemerintahan sah untuk seluruh Korea dan berujung pada pecahnya Perang Korea.[261]
Di Tiongkok, pasukan nasionalis dan komunis melanjutkan perang saudara pada bulan Juni 1946. Pasukan komunis menang dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok di daratan, sementara pasukan nasionalis mundur ke Taiwan tahun 1949.[262] Di Timur Tengah, penolakan Arab terhadap Rencana Pembagian Palestina Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pembentukan Israel menandai eskalasi konflik Arab-Israel. Saat kekuatan-kekuatan kolonial Eropa berupaya merebut kembali sebagian atau semua imperium kolonialnya, kehilangan prestise dan sumber daya saat perang justru menggagalkan upaya ini dan mendorong dilakukannya dekolonisasi.[263][264]
Ekonomi global menderita akibat perang, meski negara-negara yang terlibat terpengaruh dengan berbagai cara. Amerika Serikat tampil lebih kaya daripada negara lain; negara ini mengalami ledakan bayi dan pada tahun 1950 produk domestik bruto per orangnya lebih tinggi daripada negara-negara besar lain dan Amerika Serikat mendominasi ekonomi dunia.[265][266] Britania Raya dan Amerika Serikat menerapkan kebijakan pelucutan industri di Jerman Barat pada tahun 1945–1948.[267] Akibat perdagangan internasional yang saling tergantung, hal ini menciptakan stagnasi ekonomi di Eropa dan menunda pemulihan Eropa selama beberapa tahun.[268][269]
Pemulihan dimulai dengan reformasi mata uang di Jerman Barat pada pertengahan 1948 dan dipercepat oleh liberalisasi kebijakan ekonomi Eropa yang dipengaruhi Rencana Marshall (1948–1951) baik secara langsung maupun tidak langsung.[270][271] Pemulihan Jerman Barat pasca-1948 disebut-sebut sebagai keajaiban ekonomi Jerman.[272] Selain itu, ekonomi Italia[273][274] dan Prancis juga meroket.[275] Kebalikannya, Britania Raya berada dalam fase kekacauan ekonomi,[276] dan terus memburuk selama beberapa dasawarsa.[277]
Uni Soviet, meski menderita kerugian manusia dan material yang luar biasa, juga mengalami peningkatan pesat produksi pada masa-masa pascaperang.[278] Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, menjadi salah satu ekonomi terkuat dunia pada tahun 1980-an.[279] Tiongkok kembali ke produksi industrinya sebelum perang pada tahun 1952.[280]
Perang Saudara Spanyol (1936-39)
Jerman dan Italia memberi dukungan kepada para pemberontak Nasionalis yang dipimpin Jenderal Francisco Franco di Spanyol. Uni Soviet mendukung pemerintah yang sudah berdiri, Republik Spanyol, yang memiliki kecenderungan sayap kiri. Baik Jerman dan Uni Soviet memakai perang proksi ini sebagai kesempatan menguji senjata dan taktik baru mereka. Pengeboman Guernica yang disengaja oleh Legiun Condor Jerman pada April 1937 berkontribusi pada kekhawatiran bahwa perang besar selanjutnya akan melibatkan serangan bom teror besar-besaran terhadap warga sipil.[25][26]
Pecah di Eropa (1939)
Pada tanggal 1 September 1939, Jerman dan Slowakia—negara klien pada tahun 1939—menyerang Polandia.[41] Tanggal 3 September, Prancis dan Britania Raya, diikuti negara-negara Persemakmuran,[42] menyatakan perang terhadap Jerman, tetapi memberi sedikit dukungan kepada Polandia ketimbang serangan kecil Prancis ke Saarland.[43] Britania dan Prancis juga mulai memblokir perairan Jerman pada tanggal 3 September untuk melemahkan ekonomi dan upaya perang negara ini.[44][45]
Tanggal 17 September, setelah menandatangani gencatan senjata dengan Jepang, Soviet juga menyerbu Polandia.[46] Wilayah Polandia terbagi antara Jerman dan Uni Soviet, dengan Lituania dan Slowakia mendapat bagian kecil. Polandia tidak menyerah; mereka mendirikan Negara Bawah Tanah Polandia dan Pasukan Dalam Negeri bawah tanah, dan terus berperang bersama Sekutu di semua front di luar Polandia.[47]
Sekitar 100.000 personel militer Polandia diungsikan ke Rumania dan negara-negara Baltik; sebagian besar tentara tersebut kemudian berperang melawan Jerman di teater perang yang lain.[48] Pemecah kode Enigma Polandia juga diungsikan ke Prancis.[49] Pada saat itu pula, Jepang melancarkan serangan pertamanya ke Changsha, sebuah kota Tiongkok yang strategis, tetapi digagalkan pada akhir September.[50]
Setelah invasi Polandia dan perjanjian Jerman-Soviet atas Lituania, Uni Soviet memaksa negara-negara Baltik mengizinkan mereka menempatkan tentara Soviet di negara mereka atas alasan "bantuan bersama".[51][52][53] Finlandia menolak permintaan wilayah dan diserang oleh Uni Soviet pada bulan November 1939.[54] Konflik yang kemudian pecah berakhir pada bulan Maret 1940 dengan konsesi oleh Finlandia.[55] Prancis dan Britania Raya, menyebut serangan Soviet ke Finlandia sebagai alasan memasuki kancah perang di pihak Jerman, menanggapi invasi Soviet dengan mendukung dikeluarkannya Uni Soviet dari Liga Bangsa-Bangsa.[53]
Di Eropa Barat, tentara Britania dikerahkan ke benua ini, namun pada fase yang dijuluki Perang Phoney oleh Britania dan "Sitzkrieg" (perang duduk) oleh Jerman tak satupun pihak yang melancarkan operasi besar-besaran terhadap satu sama lain sampai April 1940.[56] Uni Soviet dan Jerman membuat pakta dagang pada bulan Februari 1940, yang berarti Soviet menerima bantuan militer dan industri dengan imbalan menyediakan bahan mentah untuk Jerman agar bisa mengakali pemblokiran oleh Sekutu.[57]
Pada bulan April 1940, Jerman menginvasi Denmark dan Norwegia untuk mengamankan pengiriman bijih besi dari Swedia, yang hendak dihadang oleh Sekutu.[58] Denmark langsung menyerah setelah 6 jam, dan meski dibantu Sekutu, Norwegia berhasil dikuasai dalam waktu dua bulan.[59] Bulan Mei 1940, Britania menyerbu Islandia untuk mencegah kemungkinan invasi Jerman ke pulau itu.[60] Ketidakpuasan Britania atas kampanye Norwegia mendorong penggantian Perdana Menteri Neville Chamberlain dengan Winston Churchill pada tanggal 10 Mei 1940.[61]
Jerman menyerbu Prancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg pada tanggal 10 Mei 1940.[62] Belanda dan Belgia kewalahan menghadapi taktik blitzkrieg dalam beberapa hari dan minggu.[63] Jalur Maginot yang dipertahankan Prancis dan pasukan Sekutu di Belgia diakali dengan bergerak secara mengapit melintasi hutan lebat Ardennes,[64] yang disalahartikan oleh perencana perang Prancis sebagai penghalang alami bagi kendaraan lapis baja.[65]
Tentara Britania terpaksa keluar dari Eropa melalui Dunkirk, meninggalkan semua peralatan beratnya pada awal Juni.[66] Disini Hitler memerintahkan untuk tidak menyerang tentara yang terkepung di Pelabuhan Dunkirk, mengakibatkan kurang lebih 300.000 tentara berhasil mengevakuasi diri menuju daratan Britania Raya, hal ini dianggap sebagai blunder Hitler pertama. Tanggal 10 Juni, Italia menyerbu Prancis, menyatakan perang terhadap Prancis dan Britania Raya;[67] dua belas hari kemudian Prancis menyerah dan langsung dibelah menjadi zona pendudukan Jerman dan Italia,[68] dan sebuah negara sisa yang tak diduduki di bawah Rezim Vichy yang dipimpin oleh Phillipe Petain. Pada tanggal 3 Juli, Britania menyerang armada Prancis di Aljazair untuk mencegah pengambil alihan kapal perang prancis oleh Jerman.[69]
Bulan Juni, pada hari-hari terakhir Pertempuran Prancis, Uni Soviet memaksa aneksasi Estonia, Latvia, dan Lituania,[52] lalu menganeksasi wilayah Bessarabia yang dipertentangkan Rumania. Sementara itu, kesesuaian politik dan kerja sama ekonomi Nazi-Soviet[70][71] perlahan buntu,[72][73] dan kedua negara mulai bersiap untuk perang.[74]
Dengan Prancis dinetralkan, Jerman memulai kampanye superioritas udara atas Britania (Pertempuran Britania) untuk mempersiapkan sebuah invasi.[75]Awalnya Luftwaffe menargetkan lapangan udara dan industri Angkatan Udara Kerajaan (RAF). Namun, serangkaian pengeboman Berlin yang dirancang oleh Churchill membuat Hitler murka dan memerintahkan untuk mengebom Kota London yang menjadi blunder Hitler kedua. Kampanye ini gagal, dan rencana invasi tersebut dibatalkan pada bulan September.[75] Menggunakan pelabuhan-pelabuhan Prancis yang baru dicaplok, Angkatan Laut Jerman menikmati kesuksesan melawan Angkatan Laut Kerajaan dengan memakai kapal-U untuk menyerang kapal-kapal Britania di Atlantik.[76] Italia memulai operasinya di Mediterania, memulai pengepungan Malta bulan Juni, menguasai Somaliland Britania bulan Agustus, dan menerobos wilayah Mesir Britania bulan September 1940. Jepang meningkatkan pemblokirannya terhadap Tiongkok pada bulan September dengan merebut sejumlah pangkalan di wilayah utara Indochina Prancis yang saat ini terisolasi.[77]
Sepanjang periode ini, Amerika Serikat yang netral melakukan sejumlah hal untuk membantu Tiongkok dan Sekutu Baratnya. Pada bulan November 1939, Undang-Undang Netralitas diamendemen untuk memungkinkan pembelian "beli dan angkut" oleh Sekutu.[78] Tahun 1940, setelah pencaplokan Paris oleh Jerman, ukuran Angkatan Laut Amerika Serikat meningkat pesat dan, setelah serbuan Jepang ke Indochina, Amerika Serikat memberlakukan embargo besi, baja, dan barang-barang mekanik terhadap Jepang.[79] Pada bulan September, Amerika Serikat menyetujui penukaran kapal penghancur AS dengan pangkalan Britania Raya.[80] Tetap saja, mayoritas rakyat Amerika Serikat menentang intervensi militer langsung apapun terhadap konflik ini sampai tahun 1941.[81]
Pada akhir September 1940, Pakta Tiga Pihak menyatukan Jepang, Italia, dan Jerman untuk meresmikan Kekuatan Poros. Pakta Tiga Pihak ini menegaskan bahwa negara apapun, kecuali Uni Soviet, yang tidak terlibat dalam perang yang menyerang Kekuatan Poros apapun akan dipaksa berperang melawan ketiganya.[82] Pada waktu itu, Amerika Serikat terus mendukung Britania Raya dan Tiongkok dengan memperkenalkan kebijakan Lend-Lease yang mengizinkan pengiriman material dan barang-barang lain[83] dan membuat zona keamanan yang membentang hingga separuh Samudra Atlantik agar Angkatan Laut Amerika Serikat bisa melindungi konvoi Britania.[84] Akibatnya, Jerman dan Amerika Serikat terlibat dalam peperangan laut di Atlantik Utara dan Tengah pada Oktober 1941, bahkan meski Amerika Serikat secara resmi tetap netral.[85][86]
Blok Poros meluas bulan November 1940 ketika Hungaria, Slowakia, dan Rumania bergabung dengan Pakta Tiga Pihak ini.[87] Rumania akan memberi kontribusi besar terhadap perang Poros melawan Uni Soviet, sebagian untuk merebut kembali wilayah yang diserahkan kepada Soviet, sebagian lagi demi memenuhi keinginan pemimpinnya, Ion Antonescu, untuk melawan komunisme.[88] Pada bulan Oktober 1940, Italia menyerbu Yunani, tetapi beberapa hari kemudian digagalkan dan dipukul sampai Albania yang berakhir dengan kebuntuan.[89] Bulan Desember 1940, pasukan Persemakmuran Britania Raya memulai serangan balasan terhadap pasukan Italia di Mesir dan Afrika Timur Italia.[90] Pada awal 1941, dengan pasukan Italia dipukul hingga Libya oleh Persemakmuran, Churchill memerintahkan pengerahan tentara dari Afrika untuk membantu Yunani.[91] Angkatan Laut Italia juga menderita kekalahan besar, dengan Angkatan Laut Kerajaan membuat tiga kapal perang Italia tidak berfungsi melalui serangan kapal induk di Taranto, dan menetralisasi beberapa kapal perang lain pada Pertempuran Tanjung Matapan.[92]
Jerman segera turun tangan untuk membantu Italia. Hitler mengirimkan pasukan Jerman ke Libya pada bulan Februari, dan pada akhir Maret mereka melancarkan serangan terhadap pasukan Persemakmuran yang semakin sedikit.[93] Dalam kurun sebulan, pasukan Persemakmuran dipukul mundur ke Mesir dengan pengecualian pelabuhan Tobruk yang dikepung.[94] Persemakmuran berupaya mengusir pasukan Poros pada bulan Mei dan lagi pada bulan Juni, tetapi keduanya gagal.[95] Pada awal April, setelah penandatanganan Pakta Tiga Pihak oleh Bulgaria, Jerman turun tangan di Balkan dengan menyerbu Yunani dan Yugoslavia setelah terjadi kudeta; di sini mereka membuat kemajuan besar, sehingga memaksa Sekutu pindah setelah Jerman menguasai pulau Kreta, Yunani pada akhir Mei.[96]
Sekutu sempat beberapa kali berhasil pada saat itu. Di Timur Tengah, pasukan Persemakmuran pertama menggagalkan kudeta di Irak yang dibantu pesawat Jerman dari pangkalan-pangkalan di Suriah Vichy,[97] kemudian dengan bantuan Prancis Merdeka, menyerbu Suriah dan Lebanon untuk mencegah peristiwa seperti itu lagi.[98] Di Atlantik, Britania berhasil menaikkan moral publik dengan menenggelamkan kapal perang Jerman Bismarck.[99] Mungkin yang terpenting adalah pada Pertempuran Britania, Angkatan Udara Kerajaan berhasil bertahan dari serangan Luftwaffe dan kampanye pengeboman Jerman yang berakhir bulan Mei 1941.[100]
Di Asia, meski sejumlah serangan dari kedua pihak, perang antara Tiongkok dan Jepang buntu pada tahun 1940. Demi meningkatkan tekanan terhadap Tiongkok dengan memblokir rute-rute suplai, dan untuk memposisikan pasukan Jepang dengan tepat andai pecah perang dengan negara-negara Barat, Jepang merebut kendali militer di Indochina selatan[101] Pada Agustus 1940, kaum komunis Tiongkok melancarkan serangan di Tiongkok Tengah; sebagai balasan, Jepang menerapkan kebijakan keras (Kebijakan Serba Tiga) di daerah-daerah pendudukan untuk mengurangi sumber daya manusia dan bahan mentah untuk pasukan komunis.[102] Antipati yang terus berlanjut antara pasukan komunis dan nasionalis Tiongkok memuncak pada pertempuran bersenjata pada bulan Januari 1941, secara efektif mengakhiri kerja sama mereka.[103]
Dengan stabilnya situasi di Eropa dan Asia, Jerman, Jepang, dan Uni Soviet mempersiapkan diri. Dengan kekhawatiran Soviet terhadap meningkatnya ketegangan dengan Jerman dan rencana Jepang untuk memanfaatkan Perang Eropa dengan merebut jajahan Eropa yang kaya sumber daya alam di Asia Tenggara, kedua kekuatan ini menandatangani Pakta Netralitas Soviet–Jepang pada bulan April 1941.[104] Kebalikannya, Jerman bersiap-siap menyerang Uni Soviet dengan menempatkan pasukan dalam jumlah besar di perbatasan Soviet.[105]
Pada tanggal 22 Juni 1941, Jerman, bersama anggota Poros Eropa lainnya dan Finlandia, menyerbu Uni Soviet dalam Operasi Barbarossa. Target utama serangan kejutan ini[106] adalah kawasan Baltik, Moskow dan Ukraina dengan tujuan utama mengakhiri kampanye 1941 dekat jalur Arkhangelsk-Astrakhan yang menghubungkan Laut Kaspia dan Laut Putih. Tujuan Hitler adalah menghancurkan Uni Soviet sebagai sebuah kekuatan militer, menghapus komunisme, menciptakan Lebensraum ("ruang hidup")[107] dengan memiskinkan penduduk asli[108] dan menjamin akses ke sumber daya strategis yang diperlukan untuk mengalahkan musuh-musuh Jerman yang tersisa.[109]
Meski Angkatan Darat Merah mempersiapkan serangan balasan strategis sebelum perang,[110] Barbarossa memaksa komando tertinggi Soviet mengadopsi pertahanan strategis. Sepanjang musim panas, Poros berhasil menerobos jauh ke dalam wilayah Soviet, mengakibatkan kerugian besar dalam hal personel dan material. Dengan kacaunya koordinasi Moskow dengan tentara di Medan perang, Uni Soviet dibuat babak belur oleh tentara poros. Pada pertengahan Agustus, Komando Tinggi Angkatan Darat Jerman memutuskan menunda serangan oleh Army Group Centre yang kecil dan mengalihkan Satuan Panzer ke-2 untuk membantu tentara yang maju melintasi Ukraina tengah dan Leningrad.[111] Serangan Kiev sukses besar dan berakhir dengan pengepungan dan penghancuran empat unit pasukan Soviet, serta memungkinkan pergerakan lebih lanjut di Krimea dan Ukraina Timur yang industrinya maju (Pertempuran Kharkov Pertama).Sayangnya, pembagian kekuatan ini membuat momentum serangan ke Moscow hilang, dan Sovyet memiliki waktu untuk memperkuat diri.[112]
Pengalihan tiga per empat pasukan Poros dan sebagian besar angkatan udaranya dari Prancis dan Mediterania tengah ke Front Timur[113] membuat Britania mempertimbangkan kembali strategi besarnya.[114] Pada bulan Juli, Britania Raya dan Uni Soviet membentuk aliansi militer melawan Jerman[115] Britania dan Soviet menyerbu Iran untuk melindungi Koridor Persia dan ladang minyak Iran.[116] Bulan Agustus, Britania Raya dan Amerika Serikat bersama-sama meresmikan Piagam Atlantik.[117]
Pada bulan Oktober, ketika tujuan operasional Poros di Ukraina dan Baltik tercapai, dengan pengepungan Leningrad[118] dan Sevastopol yang masih berlanjut,[119] sebuah serangan besar ke Moskow dilancarkan kembali. Setelah dua bulan bertempur sengit, pasukan Jerman hampir mencapai pinggiran terluar Moskow, tempat tentara-tentaranya yang lelah[120] terpaksa menunda serangan mereka.[121] Pencaplokan teritorial besar dilakukan oleh pasukan Poros, tetapi kampanye mereka gagal mencapai tujuan utamanya: dua kota utama masih dikuasai Soviet, kemampuan memberontak Soviet gagal dipadamkan, dan Uni Soviet mempertahankan banyak sekali potensi militernya. Fase blitzkrieg perang di Eropa telah berakhir.[122]
Pada awal Desember, pasukan cadangan yang baru dimobilisasi[123] memungkinkan Soviet menyamakan jumlah tentaranya dengan Poros.[124] Hal ini, bersama data intelijen yang menetapkan jumlah minimum tentara Soviet di Timur yang cukup untuk mencegah serangan apapun oleh Angkatan Darat Kwantung Jepang,[125] memungkinkan Soviet memulai serangan balasan massal yang dimulai tanggal 5 Desember di front sepanjang 1.000 kilometer (620 mi) dan mendesak tentara Jerman mundur 100–250 kilometer (62–155 mi) ke barat.[126]
Keberhasilan Jerman di Eropa menggugah Jerman untuk meningkatkan tekanannya terhadap pemerintah-pemerintah Eropa di Asia Tenggara. Pemerintah Belanda setuju menyediakan minyak untuk Jepang dari Hindia Timur Belanda, namun menolak menyerahkan kendali politik atas koloninya. Prancis Vichy, sebaliknya, menyetujui pendudukan Jepang di Indochina Prancis.[127] Pada bulan Juli 1941, Amerika Serikat, Britania Raya, dan pemerintah Barat lainnya bereaksi terhadap pendudukan Indochina dengan membekukan aset-aset Jepang, sementara Amerika Serikat (yang menyediakan 80 persen minyak Jepang[128]) merespon dengan menerapkan embargo minyak secara penuh.[129] Ini berarti Jepang terpaksa memilih antara mengabaikan ambisinya di Asia dan perang melawan Tiongkok, atau merebut sumber daya alam yang diperlukan melalui kekuatan; militer Jepang tidak menganggap yang pertama sebagai pilihan, dan banyak pejabat menganggap embargo minyak sebagai pernyataan perang tidak langsung.[130]
Jepang berencana merebut koloni-koloni Eropa di Asia dengan cepat untuk menciptakan perimeter defensif besar yang membentang hingga Pasifik Tengah; Jepang kemudian bebas mengeksploitasi sumber daya di Asia Tenggara sambil menyibukkan Sekutu dengan melancarkan perang defensif.[131] Untuk mencegah intervensi Amerika Serikat sambil mengamankan perimeter, Jepang berencana menetralisasi Armada Pasifik Amerika Serikat dari kancah perang.[132] Pada tanggal 7 Desember (8 Desember di Asia) 1941, Jepang menyerang aset-aset Britania dan Amerika Serikat dengan serangan di Asia Tenggara dan Pasifik Tengah secara nyaris bersamaan.[133] Peristiwa ini meliputi serangan ke armada Amerika Serikat di Pearl Harbor, pendaratan di Thailand dan Malaya[133] dan pertempuran Hong Kong.
Serangan-serangan ini mendorong Amerika Serikat, Britania Raya, Tiongkok, Australia, dan beberapa negara lain secara resmi menyatakan perang terhadap Jepang, sementara Uni Soviet, karena sedang terlibat dalam perang besar-besaran dengan blok Poros Eropa, memilih untuk tetap netral dengan Jepang.[134][135] Jerman dan negara-negara Poros menanggapi dengan menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Pada bulan Januari, Empat Besar (Amerika Serikat, Britania Raya, Uni Soviet, Tiongkok),[136] dan 22 pemerintahan kecil atau terasingkan mengeluarkan Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga memperkuat Piagam Atlantik,[137] dan melakukan kewajiban untuk tidak menandatangani perjanjian damai terpisah dengan negara-negara Poros. Sejak 1941, Stalin terus meminta Churchill, dan kemudian Roosevelt, untuk membuka 'front kedua' di Prancis.[138] Front Timur menjadi teater perang besar di Eropa dan jumlah korban Soviet yang berjumlah jutaan menciutkan jumlah korban Sekutu Barat yang hanya ratusan ribu orang; Churchill dan Roosevelt mengatakan mereka butuh lebih banyak waktu untuk persiapan, sehingga memunculkan klaim bahwa mereka sengaja buntu untuk menyelamatkan orang-orang Barat dengan mengorbankan orang-orang Soviet.[139]
Sementara itu, pada akhir April 1942, Jepang dan sekutunya Thailand hampir menguasai seluruh Burma, Malaya, Hindia Timur Belanda, Singapura,[140] dan Rabaul, sehingga menambah kerugian bagi tentara Sekutu dan banyak di antara mereka yang ditawan. Meski memberontak habis-habisan di Corregidor, Filipina akhirnya ditaklukkan pada bulan Mei 1942 dan memaksa pemerintah Persemakmuran Filipina mengasingkan diri.[141] Pasukan Jepang juga memenangkan pertempuran laut di Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Samudra Hindia,[142] dan mengebom pangkalan laut Sekutu di Darwin, Australia. Satu-satunya kesuksesan sejati Sekutu melawan Jepang adalah kemenangan Tiongkok di Changsha pada awal Januari 1942.[143] Kemenangan-kemenangan mudah atas lawan yang tidak punya persiapan ini membuat Jepang terlalu percaya diri dan berlebihan.[144]
Jerman juga mewujudkan inisiatifnya. Dengan mengeksploitasi keputusan komando laut Amerika Serikat yang ragu-ragu, Angkatan Laut Jerman mengacaukan jalur kapal Sekutu di lepas pesisir Atlantik Amerika Serikat.[145] Meski kalah besar, anggota Poros Eropa menghentikan serbuan Soviet di Rusia Tengah dan Selatan, sehingga melindungi sebagian besar jajahan yang mereka peroleh pada tahun sebelumnya.[146] Di Afrika Utara, Jerman melancarkan sebuah serangan pada bulan Januari yang memukul Britania kembali ke posisinya di Garis Gazala pada awal Februari,[147] diikuti oleh meredanya pertempuran untuk sementara yang dimanfaatkan Jerman untuk mempersiapkan serangan mereka selanjutnya.[148]
Bagaimana Kita Bisa Mempersiapkan Diri?
KEPENTINGAN GEOPOLITIK NEGARA ADIDAYA
Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Rusia memiliki kepentingan strategis di Timur Tengah. Mereka sering kali mendukung kelompok atau negara tertentu untuk melindungi pengaruh mereka di kawasan tersebut. Jika konflik di Timur Tengah terus meningkat, intervensi dari negara-negara besar ini bisa memicu bentrokan antar kekuatan global yang dapat berujung pada Perang Dunia ke-3. Misalnya, konflik di Suriah melibatkan banyak aktor global yang memiliki kepentingan berbeda-beda, sehingga situasi menjadi semakin kompleks.
Invasi Italia ke Ethiopia (1935)
Perang Italia-Abisinia Kedua adalah perang kolonial singkat mulai bulan Oktober 1935 sampai Mei 1936. Perang ini terjadi antara angkatan bersenjata Kerajaan Italia (Regno d'Italia) dan angkatan bersenjata Kekaisaran Ethiopia (juga disebut Abisinia). Perang ini berakhir dengan pendudukan militer di Ethiopia dan aneksasinya ke koloni baru Afrika Timur Italia (Africa Orientale Italiana, atau AOI); selain itu, perang ini membuka kelemahan Liga Bangsa-Bangsa sebagai kekuatan pelindung perdamaian. Baik Italia dan Ethiopia adalah negara anggota, tetapi Liga ini tidak berbuat apa-apa ketika negara pertama jelas-jelas melanggar Artikel X yang dibuat oleh Liga ini.[24]
Invasi Jepang ke Uni Soviet dan Mongolia (1938)
Pada tanggal 29 Juli 1938, Jepang menyerbu Uni Soviet dan kalah di Pertempuran Danau Khasan. Meski pertempuran tersebut dimenangkan Soviet, Jepang menyebutnya seri dan buntu, dan pada tanggal 11 Mei 1939, Jepang memutuskan memindahkan perbatasan Jepang-Mongolia sampai Sungai Khalkhin Gol melalui pemaksaan. Setelah serangkaian keberhasilan awal, serangan Jepang di Mongolia digagalkan oleh Pasukan Merah yang menandakan kekalahan besar pertama Angkatan Darat Kwantung Jepang.[30][31]
Pertempuran ini meyakinkan sejumlah faksi pemerintahan Jepang bahwa mereka harus fokus berkonsiliasi dengan pemerintah Soviet demi menghindari ikut campur Soviet dalam perang melawan Tiongkok dan mengalihkan perhatian militer mereka ke selatan, yaitu ke jajahan Amerika Serikat dan Eropa di Pasifik, serta mencegah penggulingan pemimpin militer Soviet berpengalaman seperti Georgy Zhukov, yang kelak memainkan peran penting dalam mempertahankan Moskow.[32]
Faktor-Faktor Pemicu Perang Dunia Ke-3
Ayo Bergabung dengan Program Studi Hubungan Internasional!
Tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang dinamika politik internasional dan bagaimana kita bisa mencegah terjadinya konflik global? Bergabunglah dengan Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani! Di sini, Sahabat Minjend akan belajar dari para ahli dan mendapatkan pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi profesional di bidang ini.
Jangan lewatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari perubahan positif di dunia internasional. Daftar sekarang dan jadilah agen perubahan di masyarakat!
Informasi Pendaftaran Mahasiswa baru follow IG @infopmbunjani, mau tanya atau ngobrol? DM ya. Terimakasih. informasi ter-update selalu di update disana, sampai jumpa di kampus.
Apakah Anda penggemar game perang?
game perang dunia ke 2.
Selamat datang di game menembak dan penembak jitu perang dunia ke-2 secara offline. Ini dirancang untuk pecinta game senjata yang ingin bermain game fps online atau offline tanpa internet. Bergabunglah dengan medan perang dan hancurkan semua musuh untuk menyelamatkan dunia.
Ini adalah salah satu game perang terbaik tanpa internet, Anda akan menyukai pengalaman menembak sniper di perangkat seluler Anda. Jika Anda menyukai game perang dalam pengaturan perang dunia, Anda pasti akan menikmati game penembak ini.
Negara Anda sedang berperang dan ini adalah kesempatan Anda untuk terjun ke dunia game menembak. Anda adalah penantang terbaik untuk medali yang akan menjadi kehormatan besar.
Gunakan berbagai strategi permainan perang FPS di peta yang berbeda, jadilah cerdas dan jangan lupa tentang taktik permainan menembak yang cerdas.
• Aksi mendebarkan dikemas game 3d dengan misi penembak jitu!
• Grafis 3D lingkungan pertempuran ww2 musim dingin yang bersaing dengan game aksi terbaik! game perang dunia ke 2.
• Kontrol halus dan fisika animasi canggih seperti game penembak jitu terbaik!
• Anda dapat memilih sisi konflik Anda dengan mengambil pahlawan perang Anda sendiri: Soviet, Jerman, Amerika, Korea, atau Jepang
Lebih dari 10 senjata ww2. Pilih taktik menembak online Anda sendiri untuk pertempuran: penembak jitu, senapan mesin atau senapan serbu
Hingga 40 pemain dalam game aksi pvp berbasis misi
Bergabunglah dalam pertempuran tim melawan pemain lain dari seluruh dunia untuk bermain game senjata
Kontrol intuitif dan antarmuka yang mudah - geser, bidik, dan tembak
Optimalisasi sempurna
Pembaruan reguler dan elemen game keren
Anda dapat mengunduh dan memainkan game ini tanpa internet. Mohon diperhatikan bahwa itu juga memungkinkan Anda untuk membeli item virtual dalam aplikasi dan mungkin berisi iklan pihak ketiga yang dapat mengarahkan Anda ke situs web pihak ketiga.
Perang Dingin masih jauh, tetapi konflik militer Perang Dunia 2 ada di sini! Kamu bisa memilih beberapa game aksi seperti D Day, Team Deathmatch, Free for All, Capture point, bahkan mode Bomb.
Bayangkan dunia kembali ke masa Perang Dingin, di mana ketegangan antar negara besar begitu terasa. Saat ini, kita berada di titik yang tak jauh berbeda. Persaingan sengit antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, ditambah konflik regional yang tak kunjung reda, telah membawa kita semakin dekat ke ambang perang dunia ketiga.
Beberapa faktor utama yang membuat Perang Dunia III sulit dihindari:
Rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok menjadi salah satu pemicu utama potensi Perang Dunia III. Ketegangan di Laut Cina Selatan, konflik Ukraina - Rusia, konflik Israel dengan Pelastina, Yaman, Iran serta Libanon dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik adalah contoh nyata bagaimana rivalitas ini dapat memicu konflik global
Konflik regional seperti yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa Timur sering kali melibatkan kekuatan besar yang memiliki kepentingan strategis di wilayah tersebut. Misalnya, konflik antara Rusia dan Ukraina yang melibatkan NATO dan Amerika Serikat telah meningkatkan risiko eskalasi menjadi perang global.
Perlombaan senjata, termasuk pengembangan senjata nuklir dan teknologi militer canggih, menambah ketegangan antar negara. Senjata nuklir, meskipun berfungsi sebagai deterensi, juga meningkatkan risiko kesalahan perhitungan yang dapat memicu perang besar.
Ketidakstabilan ekonomi global, termasuk krisis energi dan pangan, dapat memperburuk hubungan antar negara. Negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi mungkin lebih cenderung mengambil tindakan agresif untuk mengamankan sumber daya yang mereka butuhkan.
Beberapa negara mengadopsi kebijakan luar negeri yang agresif untuk memperkuat posisi mereka di panggung internasional. Kebijakan ini sering kali memicu respons defensif dari negara lain, menciptakan siklus ketegangan yang sulit dihentikan.
Meskipun ancaman Perang Dunia III tampak menakutkan, penting bagi komunitas internasional untuk terus berupaya menjaga perdamaian melalui diplomasi dan kerjasama. Kesadaran akan faktor-faktor yang dapat memicu perang global adalah langkah pertama dalam mencegahnya. Indonesia, dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas regional dan global.
Informasi Pendaftaran Mahasiswa baru follow IG @infopmbunjani, mau tanya atau ngobrol? DM ya. Terimakasih. informasi ter-update selalu di update disana, sampai jumpa di kampus.
Konflik di Timur Tengah telah menjadi salah satu fokus perhatian dunia selama beberapa dekade terakhir. Wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini sering kali menjadi titik panas ketegangan politik dan militer. Namun, pertanyaan yang terus muncul adalah, apakah konflik di Timur Tengah dapat memicu Perang Dunia ke-3? Dalam artikel ini, kita akan membahas alasan mengapa konflik di wilayah ini memiliki potensi besar untuk menyebabkan perang global.