miskin karena judi online
Rabu, 9 September 2020
JAKARTA, KOMPAS.com - Tomi (35), juru parkir liar di kawasan Roxy Mas, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, mengaku pernah tergoda bermain judi online (judol).
Namun, ia buru-buru berhenti setelah melihat teman-temannya jatuh miskin karena aktivitas tersebut.
"(Coba main judol) karena lihat orang enak banget (dapat jackpot). Enggak tahunya, parah banget itu," ujar Tomi saat ditemui Rabu (24/7/2024).
"Banyak mah teman saya (yang main judol). Saya mikirnya, yang punya banda (bahasa Betawi, artinya benda atau barang) aja bisa blangsak (bahasa Betawi, artinya miskin atau bangkrut)," imbuh dia.
Baca juga: Selebgram di Kebon Jeruk Promosikan Judi Online Selama Setahun, Raup Belasan Juta Rupiah
Ayah satu anak ini mengaku pernah bermain judi online selama dua bulan. Ia pun "hanya" kehilangan uang Rp 20.000.
Namun, setelah melihat teman-temannya menjual ponsel, televisi, kulkas, hingga motor gara-gara ketagihan judi online, Tomi intropeksi diri.
"Mending buat jajan anak deh. Saya kan penghasilan cuma Rp 70.000. Kan kasihan kalau Rp 20.000 ini (buat judi). (Mending) kalau menang. Kalau enggak menang?" ucap Tomi lagi.
Sebagai juru parkir, Tomi bilang, penghasilannya tak menentu. Jika sedang ramai, dia bisa membawa pulang uang Rp 80.000.
Namun, kalau sepi, ia hanya mengantongi uang Rp 50.000 yang sehari-hari dipakai untuk kebutuhannya, istri, dan anak.
Dia pun berharap bisa segera mendapat pekerjaan tetap agar bisa berhenti menjaga parkir liar. Apalagi, belakangan muncul wacana penataan dekat perlintasan kereta di kawasan Roxy Mas.
"Kalau ada kerjaan ya kerja. Kerja apa gitu, PPSU (petugas prasarana dan sarana umum) lah," katanya.
Adapun pelaku judi online belakangan jadi perhatian pemerintah karena jumlahnya yang begitu besar.
Baca juga: Polisi Tangkap Selebgram yang Promosikan Judi Online Sekaligus Jual Video Porno di Kebon Jeruk
Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Karyoto belum lama ini mewanti-wanti masyarakat untuk tidak bermain judi online. Ia mengingatkan, judi online tidak akan pernah menguntungkan pemain, melainkan hanya menguntungkan bandar.
“Yang lebih penting sebenarnya adanya sebuah pemahaman, kesadaran bagi kita, masyarakat enggak usah ikut main judi lah. Karena cuma menguntungkan bandar, bagi kita rugi,” ujar Karyoto, Rabu (26/6/2024).
Karyoto pun menyayangkan praktik judi online yang semakin masif di masyarakat. Ia menduga, berbagai lapisan masyarakat turut bermain judi online, dari dewasa hingga anak-anak.
"Dan sekarang ya memang yang ikut bermain banyak sekali, masyarakat bermacam-macam. Mungkin ada yang berprofesi karyawan atau mahasiswa, atau anak-anak yang pakai gadget," katanya.
JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta era Orde Baru (Orba) pernah melegalkan judi. Ajian itu dianggap langkah utama Jakarta mempercantik diri. Keuntungan perjudian membuat empunya kuasa dapat membangun banyak hal. Dari sekolah hingga rumah sakit.
Boleh jadi perjudian membawa banyak manfaat, tapi tak sedikit pula yang menganggap judi membawa banyak mudarat. Perjudian, utamanya lotere Hwa Hwee justru membawa warga Jakarta masuk kubangan kemiskinan. Harta mereka habis dan jadi gila.
Satu-satunya masalah yang membuat Jakarta gagal mempercantik diri adalah kekurangan dana. Masalah itu membuat siapa saja yang memimpin Jakarta akan kewalahan. Dana yang berikan pemerintah pusat sedikit. Sedang impian membangun Jakarta sebagai kota bak mercusuar peradaban bangsa begitu besar.
Semuanya berubah kala Ali Sadikin jadi nakhoda baru DKI Jakarta sedari 1966-1977. Ia membuat banyak gebrakan supaya Jakarta berkembang dan banyak membangun. Ia tak ingin pembangunan Jakarta terus bergantung dengan dana dari pusat. Apalagi dana yang diberikan terlampau sedikit.
Ide liar kemudian hadir. Ali ingin melegalkan judi di Jakarta. Ajian itu dipilih karena pajak perjudian pernah membuat penjajah Belanda untung besar di Batavia (kini: Jakarta). Celah aturan era Belanda yang masih berlaku di Jakarta dimanfaatnya supaya tak melanggar hukum.
Hasilnya gemilang. Ali menjadikan perjudian sebagai mesin pencetak duit. Uang hasil legalkan perjudian bejibun. Keuntungan itu membuatnya mampu mepercantik Jakarta.
Kampung diperbaiki, jalannya mulai diaspal, sekolah-sekolah bertambah, dan fasilitas kesehatan diperbaiki sebanyak-banyaknya. Namun, langkah melegalkan perjudian turut diprotes banyak pihak. Perjudian dianggap semakin memperburuk moral warga Jakarta. Sekalipun Ali berkelit judi dilegalkan terbatas kepada etnis China. Bukan warga Jakarta yang mayoritas beragama Islam.
“Bang Ali mendapat ide. Adakan (judi) lotto/Hwa Hwee untuk menyekolahkan anak-anak terlantar. Tingkatkan berbagai pajak, seperti pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pungut pajak judi setelah disahkan tempat perjudian, khusus buat Tionghoa.”
“Dengan dana yang diperoleh, galakkan gerakan penghijauan Jakarta. Juga adakan lokasi tersendiri bagi pelacur atau WTS (Wanita Tuna Susila) di Kramat Tunggak. Lantaran semua itu, Bang Ali dikasih cap sebagai ‘Gubernur Maksiat’ dan Nyonya Nani Ali Sadikin disebut Madame Hwa-Hwe. Namun, Bang Ali maju terus tak gentar, berbakti kepada nusa dan bangsa,” cerita Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).
Kebijakan melegalkan judi di Jakarta memang membawa keuntungan bejibun. Namun, keuntungan itu harus dibayar mahal oleh pemerintah DKI Jakarta. Warga Jakarta banyak yang keranjingan judi. Mereka yang suka judi tak melulu etnis China, tapi suku bangsa lainnya juga.
Semua itu karena perjudian mampu menghadirkan mimpi kaya raya dengan cara mudah. Perjudian lotere Hwa Hwee, misalnya. Permainan itu mengharuskan orang-orang membeli kupon dengan mengisinya dengan angka tebakan menjanjikan kekayaan. Angka lotere akan diundi tiap malam.
Biasanya angka yang keluar ditayangkan via saluran televisi. Mereka yang mampu menebak dengan tepat akan memperoleh uang yang banyak. Mereka yang angkanya meleset mencoba menahan amarah dengan membeli kembali kupon esok hari. Harapan supaya besok lebih beruntung.
Tabiat itu membuat penjudi ketagihan. Mereka kerap mematri harapan tinggi tiap harinya dengan mengunjungi agen Hwa Hwee yang tersebar di tiap sudut Jakarta. Setiap uang yang didapat lalu dipertaruhkan lewat Hwa Hwee, alih-alih untuk memperbaiki kehidupan.
Kondisi itu membuat banyak warga Jakarta jatuh dalam kubangan kemiskinan. Kemiskinan itu membuat penjudi melanggengkan apa saja untuk mendapatkan uang berjudi. Kadang kala menjual seisi rumah, lalu yang paling ekstrem melakukan kejahatan, seperti mencuri untuk dapat berjudi.
Pemandangan miskin karena judi di Jakarta jadi potret sehari-hari selama judi legal di era Orba. Pemerintah DKI Jakarta hanya berfokus kepada keuntungan dan keberhasilan pembangunan. Namun, di lain sisi, banyak masyarakat yang harus kena getahnya jadi miskin, kemudian gila.
“Lotere Hwa Hwee ini juga sangat popular dalam pergaulan bermain saya dan banyak temapt saya yang ikut-ikutan bermain menebak lotere Hwa Hwee ini. Adapun yang cukup menyedihkan, banyak kalangan bawah yang menjadi sangat keranjingan bermaintebakan judi Hwa Hwee ini. Sehingga banyak yang jatuh miskin atau keluarganya berantakan. Bahkan ada juga yang sampai terganggu jiwanya.”
“Yah, memang taraf Pendidikan masyarakat kita masih rendah, mudah latah dan terkecoh ikut-ikutan berjudi supaya cepat kaya tanpa perhitungan yang rasional. Karena banyak tekanan dari masyarakat terutama kalangan agama atas dampak negative yang ditimbulkan lotere Hwa Hwee ini, akhirnya Ali Sadikin terpaksa harus menghentikannya,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adinegara memberikan pandangannya terkait kasus judi online. Belakangan, judi online kembali mendapat sorotan, kendati bukan hal baru.
Bhima secara khusus menyoroti wacana pemerintah memberikan bantuan sosial kepada pelaku judi online. Menurutnya, jika direalisasikan, tidak tepat sasaran. Ada langkah lain yang dinilai bisa lebih solutif.
"Harusnya masuk panti rehabilitasi baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Jadi pemerintah cukup membiayai pelaku judi online selama di panti rehab," kata Bhima kepada Republika, Sabtu (15/6/2024).
Ia menerangkan, di pantai rehab pelaku judi online diarahkan ke hal-hal produktif. Intinya ke sesuatu yang positif. Salah satu contohnya adalah ada pelatihan wirausaha.
Paling penting, kata Bhima, orang tersebut bisa 'sembuh'. Dalam arti tidak mengalami ketergantungan pada kebiasan berjudi. Lalu ketika kembali ke masyarakat, ia memiliki pendapatan dari aktivitasnya selama rehabilitasi.
"Masih banyak orang miskin yang butuh DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dibanding para pelaku yang miskin karena judi online," ujar Bhima.
Ia menilai judi online termasuk tindakan kriminal. Kurang tepat jika orang yang berkecimpung di aktivitas tersebut mendapat bansos. Sesuatu yang tidak masuk logika. "Ini artinya pemerintah mau subsidi pelaku judi online pakai uang negara," ujar Bhima.
Ia menilai pemerintah harus sepenuhnya fokus pada pencegahan. Menurutnya, judi online akan terus ada jika pemberantasan di hulu tidak serius.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan pemberian bansos untuk pelaku judi online masih sebatas usulan pribadi. Hal itu belum dibahas dengan pihak terkait lainnya.
Muhadjir menerangkan, tidak semua korban judi online bisa dimasukkan ke DTKS. Lalu kemudian menerima bansos. Pemerintah masih harus melihat kondisi ekonomi orang tersebut.
Intinya, menurut Menko PMK, judi online memiskinkan masyarakat. Korban dari aktivitas tersebut berpotensi menjadi masyarakat miskin baru. Masyarakan miskin berada dalam tanggung jawab pemerintah.
Terkait penanganan aktivitas judi online, Presiden Joko Widodo sampai turun langsung. Jokowi resmi membuat satuan tugas (Satgas) memberantas hal itu. Ada aturan yang baru saja ditetapkan.
Itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024. Keppres ini diteken Jokowi pada Jumat (14/6/2024). Artinya telah berlaku sejak tanggal ditetapkan.
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.