Biodata Ratu Farah Diba

Austronesian honorific title for male Fijians of chiefly rank

Ratu ([ˈrɑːtu]) is an Austronesian title used by male Fijians of chiefly rank. An equivalent title, adi (pronounced [ˈandi]), is used by females of chiefly rank. In the Malay language, the title ratu is also the traditional honorific title to refer to the ruling king or queen in Javanese culture (though it has since been used in modern contexts to refer to both queen regnant and queen consort of any nation, e.g. "Ratu Elizabeth II" and "Ratu Camilla"). Thus in Java, a royal palace is called "keraton", constructed from the circumfix ke- -an and Ratu, to describe the residence of the ratu.

Ratu: A chiefly title for men used alone as a form of address, or in front of the chief's name, only in certain places The source of the Fijian title is Verata, and it has spread throughout Fiji during the past century, now applied to many local, minor chiefs as well as the major ones. The concept of his type of title is from Tonga. Strictly speaking, the title belongs only in Verata. In their time, Cakobau or Tanoa, his father, never themselves used the title of Ratu. It does not appear with Cakobau's name or any other chief's name in the Deed of Cession of 1874. (Exceptionally, in the 1850s, Ratu Mara Kapaiwai was one of the few who did use the word Ratu, though that may have been a name rather than a title.) It has been affixed to the names of Tana and Cakobau by later Fijians, retroactively. The Cakobau Memorial Church on Bau Island is now referred to as the Ratu Cakobau Church. Ratu may also be used as a personal first name or second name. The title may be acquired as part of a chiefly name, by a namesake. In such cases, it does not imply chiefly status. Adi is the female equivalent, sometimes heard as Yadi in Lau.

Ra is a prefix in many titles (ramasi, ramalo, rasau, ravunisa, ratu), and tu means simply "chief". The formal use of "ratu" as a title in a name (as in "Sir" in British tradition) was not introduced until after the cession of 1874. Until then, a chief would be known only by his birth name and his area-specific traditional title.

Regional variations include ro in Rewa and parts of Naitasiri and Tailevu, roko in parts of Naitasiri, Rewa and Lau (particularly the Moala group), ra in parts of Vanua Levu, particularly the province of Bua.

In all those places, it is used as a title preceding the person's name, much like "prince", "duke", "earl", "baron" or "lord".

The semantics, however, are a little different in Fijian although the name and title are usually reversed, for example:

In English, one would say His Royal Highness (Styling) Prince (address/title) Andrew (name), Duke of York (noble title).

In Fijian, one would say, Gone Turaga Na (Styling) Roko Tui Bau (noble title), Ratu (address/title) Joni Madraiwiwi (name).

The Fijian nobility consists of about seventy chiefs, each of whom descends from a family that has traditionally ruled a certain area. The chiefs are of differing rank, with some chiefs traditionally subordinate to other chiefs. The Vusaratu clan is regarded as the highest chiefly clan, with regards to the people of Bau until the rise of the Tui Kaba clan leader, who exiled all Vusaratu members. They are the heirs of Ratu Seru Epenisa Cakobau, the Vunivalu of Bau or Tui Levuka (Paramount Chief of Bau, on the eastern side of Viti Levu, Fiji's most populous island), He proclaimed himself "Tui Viti/King of Fiji" in 1871. (He was only recognised by the British and a few provinces of Viti Levu) He along with 12 high Chiefs subsequently ceded the islands to the United Kingdom in 1874.

Other prominent chiefly clans include the Vuanirewa (the traditional rulers of the Lau Islands) and the Ai So'ula (the traditional rulers of Vanua Levu).

During the colonial rule (1874–1970), the British kept Fiji's traditional chiefly structure and worked through it. They established what was to become the Great Council of Chiefs, originally an advisory body, but it grew into a powerful constitutional institution. Constitutionally, it functions as an electoral college to choose Fiji's president (a largely honorary position modelled on the British monarchy), the vice-president, and 14 of the 32 senators, members of Parliament's "upper house", which has a veto over most legislation. The 18 other senators are appointed by the Prime Minister (9), the Leader of the Opposition (8), and the Council of Rotuma (1); these appointees may, or may not, be of chiefly rank also. (The Senate was modelled on Britain's House of Lords, which consists of both hereditary and life peers.)

The presidency, vice-presidency, and fourteen senators are the only constitutional offices whose appointment is controlled by persons of chiefly rank. Chiefs in post-independence Fiji have always competed for parliamentary seats on an equal footing with commoners. In the years following independence, this favored the chiefly class, as the common people looked to them as their leaders and generally voted for them. For several elections, many ethnic Fijian members of the House, which is elected by universal suffrage, were of chiefly rank, but in recent elections, the discrepancy between chiefs and commoners is slowly narrowing, as commoners are becoming better educated and have begun to work their way into the power structure. The chiefs, however, retain enormous respect among the Fijian people. In times of crisis, such as the coups of 1987 and the third coup of 2000, the Great Council of Chiefs often stepped in to provide leadership when the modern political institutions have broken down.

Seperti ditulis pada artikel sebelumnya, Tafsir Jawa atas Kuasa dan Kekuasaan, pandangan kosmologi Jawa meyakini adanya kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik).

Menurut kepercayaan ini, keseluruhan tatanan sosial yang terdiri dari masyarakat luas di luar benteng kraton, para abdi dalem, dan lapisan kelompok para priyayi, serta berpuncak hirarkis pada diri raja, pada derajat tertentu merupakan representasi kosmis itu sendiri. Sekalipun dimaknai demikian, secara simultan tatanan sosial juga selalu berada di bawah pengaruh daya-daya kosmis alam semesta.

Dalam kerangka konsepsi Dewa-Raja atau Ratu-Binanthara inilah, kesanggupan seorang raja untuk mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci bisa atau tidaknya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sedangkan bicara perihal daya-daya kosmis, selain didasarkan pada wahyu, daya kosmis lainnya ialah restu para leluhur tanah Jawa dan pusaka. Dalam konteks inilah, bicara restu leluhur tanah Jawa sudah tentu bukan hanya satu dan tunggal. Namun begitu, salah satu mitos yang diyakini kuat oleh masyarakat Jawa ialah Kanjeng Ratu Kidul.

Bagaimana menonjolnya mitos Kanjeng Ratu Kidul atau disingkat KRK, tanpa mengenal mitos ini orang tidak bakalan dapat memahami makna tarian sakral Bedhaya Ketawang; juga makna artefak bangunan Panggung Sanggabuawana di Kraton Surakarta; tak kecuali adanya folklore tentang jin bernama lampor maupun ritus sedekah laut yang lazim dilakukan masyarakat Jawa di sepanjang daerah pesisir Samudra Hindia.

Jejak-jejak Diskrusif

Merujuk artikel Robert Wessing yang berjudul “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, setidaknya ditemui beberapa versi sejarah. Menurut Wessing, sebagai seorang putri Sunda, umumnya KRK diceritakan sebagai puteri penguasa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, meskipun perihal siapa ayahnya ada beberapa nama mengemuka. Ada yang menyebutkan KRK ialah putri dari Prabu Mundingsari, lainnya menyebut nama Prabu Munding Wangi, atau juga disebut nama Prabu Siliwangi maupun Prabu Cakrabuwana.

Selain Pajajaran, cerita lain mengisahkan asal-usul KRK ialah kerajaan Galuh. Prabu Sindhula dari abad ke-13 merupakan ayahnya. Tempat asal lainnya yang disebutkan ialah kerajaan Kediri di Jawa Timur, saat diperintah oleh “Notradamus Jawa” yaitu yang legendaris, Raja Jayabaya; atau bahkan berasal dari kerajaan yang lebih tua, Kahuripan, diperintah oleh Raja Airlangga juga berlokasi di Jawa Timur. Namun demikian dari semua kisah itu, bagaimanapun kerajaan Pajajaran merupakan asal-usul KRK yang paling sering disebutkan.

Bagaimana kisah terjadinya transformasi dari seorang putri menjadi Dewi Samudra juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang puteri cantik yang, karena sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu, terjangkit penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang mendalam puteri itu lalu bermeditasi dan moksha.

Merujuk Poerbatjaraka dan Woodward, Wessing mencatat versi lain. Konon diceritakan, permaisuri raja Galuh melahirkan anak perempuan. Keanehan muncul, ia laiknya Yesus sejak usia bayi sudah dapat bicara dan berkata:

“Aku Ratu Ayu, akulah penguasa semua lelembut di Tanah Jawa. Istanaku berada di Laut Kidul.”

Raja Sidhula, yaitu raja Galuh yang telah lama meninggal, dikisahkan kemudian muncul memberi tanda dan bersabda bahwa puteri itu ialah cucunya. Untuk menjaga kesuciannya dia tidak akan pernah menikah hingga nanti tiba saatnya seorang raja Muslim muncul dan memerintah Jawa. Sosok inilah yang nanti jadi suaminya.

Menunggu dua abad lebih, hingga suatu saat datanglah Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram-Islam. Historigrafi Jawa yaitu Babad Tanah Jawa meriwayatkan, bagaimana Panembahan Senopati mula pertama bertemu dengan KRK. Pertemuan yang bermuara menjadi hubungan percintaan ini mengawali kisah, di mana KRK bukan hanya menjadi “istri” Panembahan Senopati, melainkan juga raja-raja Mataram-Islam penerusnya.

Awalnya dikisahkan dia pergi bertapa di Sungai Opak (bahasa Jawa: kungkum), lalu berenang (tapa ngeli) ke arah muara hingga mencapai Pantai Selatan. Sampai di sana Panembahan Senapati meneruskan bertapa dan memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Konon, berkat ketekunan bertapa membuat Samudera Hindia bergolak. Istana gaib tempat singgasana KRK menjadi porak-peranda karena kekuatan meditasi sang pemuda itu.

Walhasil, KRK pun muncul. Namun pucuk dicinta ulam tiba, KRK justru tertegun dan terpesona melihat seorang pemuda gagah tengah bermeditasi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana gaib Laut Selatan, KRK berjanji akan membantu Penembahan Senapati dan anak cucu keturunannya.

Menurut De Graaf, Ki Ageng Pemanahan tercatat meninggal di tahun 1583, dan sebagai gantinya ialah putranya Panembahan Senopati. Jika pembacaan De Graaf itu valid, menarik disimak pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkuasa pada 1940–1988, terhitung hampir berselang empat abad kemudian sejak Panembahan Senopati.

Dalam biografinya “Tahta untuk Rakyat” yang disusun oleh Atmakusumah (editor), ketika diwawancarai dan ditanya apakah benar dia adalah "suami" dari KRK dan apakah pernah "berhubungan" dengannya, Sultan Hamengku Buwono IX menjawab:

“Menurut kepercayaan lama memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama beherapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.”

Ketimbang “istri”, pada anak cucu penerus Panembahan Senapati setelah memasuki abad ke-20, posisi KRK tampaknya lebih berfungsi sebagai pepunden atau pamomong, atau sebutlah itu leluhur. Demikianlah catatan Jhon Pemberton dalam bukunya On The Subject of Java perihal cerita popular di Solo. Masyarakat Solo beranggapan raja sebagai “suami” KRK hanya sampai masa Paku Buwono IX.

Konon, diceritakan Paku Buwono X suatu ketika tengah naik ke Panggung Sanggabuwono. Tempat ini merupakan ruang pertemuan antara KRK dan Susuhunan. Di dalam bilik itu disediakan kursi dan pakaian serta sesaji untuk KRK. Diceritakan suatu saat PB X terpeleset saat menaiki tangga bangunan itu, dan KRK berucap kaget: “….Ooo, kepiye ngger!?” (Ooo, bagaimana kau nak!?). Nah, gara-gara dipanggil “ngger” itulah, Paku Buwono X tak pernah lagi dianggap sebagai “suami” KRK.

Pemberton juga memiliki catatan lain yang menarik. Paku Buwono yang memerintah pada 1823--1830, seperti diketahui dibuang ke Ambon oleh Pemerintah Hindia Belanda karena ketahuan mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825--1830). Pemberton mencatat, salah satu alasan kuat Belanda untuk membuang Susuhunan ini dikarenakan dia diketahui sering “berkunjung dan menemui” KRT hingga mendapat tuduhan tengah merencanakan sebuah makar.

Menarik juga dicermati, sekalipun keberadaan KRK katakanlah lekat dengan sejarah wangsa Mataram-Islam, ritus sedekah laut bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton. Melainkan, juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Ini artinya, masyarakat luas juga merasa memiliki KRK sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka.

Itulah sebabnya pelbagai ritus terhadap KRK nisbi sering dilakukan oleh orang Jawa. Dari yang sifatnya pribadi hingga yang sifatnya kolektif atau massal. Pewaris Mataram-Islam, sebutlah Kasultanan di Yogyakarta, hingga kini setahun sekali masih melaksanakan upacara labuhan.

Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di laut atau kawah gunung sebagai sesaji. Barang yang dilabuh, antara lain, seperangkat pakaian untuk KRK. Pakaian dan kebutuhan wanita itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan berbagai macam pakaian wanita beserta perlengkapan lain seperti param, ratus, minyak cendana, dan kepingan uang logam.

Bukan hanya ritus labuhan, kraton juga mengenal ritus sakral lain berupa pementasan Tari Bedhaya Ketawang. Menurut Kitab Wedhapradangga, pencipta tarian ini adalah Sultan Agung, raja paling agung yang berkuasa pada 1613--1645. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh KRK sendiri. Wajar saja, tarian ini bukan hanya semata sakral, tapi juga bahkan dianggap sebagai pusaka.

Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa juga ikut memberikan patokan-patokan saat menciptakan titi nada gending tarian tersebut. Titi nada gamelan itu disebut diberi nama Gending Ketawang Gedhe berlaras pelog pathet 5.

Tari ini melukiskan proses jatuh cintanya KRK pada Panembahan Sanapati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi. Untuk itu KRT memohon Sinuhun tidak tergesa pulang, namun Sinuhun tidak mau. Dia masih ingin mencapai “sangkan paran dumadi”, yaitu hakikat kemanunggalan diri dengan Tuhan.

Namun Panembahan Senapati berkenan memperistri KRT, bahkan janji hingga turun-temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di tanah Jawa akan mengikat janji dengan KRT pada detik kenaikan tahtanya (jumenengan nata). Karena itulah tarian sakral ini hanya ditarikan ketika pelantikan raja atau peringatan momen tersebut di setiap tahunnya.

Konon, saat tarian sakral ini ditarikan KRT selalu hadir dan turut menari di antara sembilan penari lainnya. Bahkan KRT jugalah yang konon mengajar secara langsung Tari Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan raja tersebut. (W-1)

Jalan Lintas Pantai Timur Sumatra (Way Kambas-Way Jepara), Labuhan Ratu (Lampung Timur), Lampung, Indonesia

Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.

Pushished in National Geographic magazine

Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.

Pushished in National Geographic magazine

Under moonlight, throngs of Javanese look for sacred offerings floating in the waves on Parangtritis Beach in Central Java collecting flowers they believe are mystical and spiritual, bringing luck, good health and prosperity. This extremely unique event happens on what is called a Jumat Kliwon on the Javanese calendar, when thousands pray at this remote beach to the Queen of the South Seas (Ratu Kidul). Legend has it the Ratu Kidul and the first Sultan of Yogjakarta had a sexual encounter upon a rock near this beach centuries ago during the Majapahit era (1293-1500 AD). The Queen of the South Seas also has spiritual connection to the spirit that is believed to reside in Mount Merapi, the most mystical and active volcano on the island of Java.

Pushished in National Geographic magazine

Dalam khasanah budaya Jawa, figur seorang ibu cukup diperlukan. Mitos Nyai Ratu Kidul misalnya, eksis sebagai sastra (tutur) magis yang diperlukan (atau sengaja diciptakan?) untuk memperkuat legitimasi bagi kedudukan setiap Raja Mataram Islam. Nyai Ratu Kidul (kadang ditulis Nyai Roro Kidul), atau sering sebagai Kanjeng Ratu Kidul) adalah ratu siluman atau peri berjenis kelamin wanita, yang merajai (melegenda) hampir di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa. Menurut legenda, Nyai Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan kesaktiannya luar biasa dahsyat, bahkan usia pun tidak bisa mengalahkannya. Pengaruh dan kewibawaannya luas tak terbatas, seperti halnya laut selatan yang tak bertepi. Dengan mengambil manfaat filosofis kekuatan magis beserta pengaruh kewibawaannya, maka Nyai Ratu Kidul pun harus selalu hadir secara abadi menyertai dan mendampingi setiap Raja Mataram Islam yang sedang berkuasa, demi kelanggengan dan legitimasi magis kedudukan raja tersebut. Karenanya, diangkatlah Nyai Ratu Kidul sebagai Ibu (tempat berlindung), sekaligus istri (pendamping, tempat berbagi) bagi setiap Raja Mataram Islam yang sedang bertahta. Sebuah rangkap kedudukan yang rancau, namun sah-sah saja karena diperlukan.

Ratu Laut Selatan / Ratu Pantai Selatan juga sering disebut Ibu Ratu Kidul adalah sosok Mitos Ratu Jin bernama Ratu Rara Kirana lalu tampuk pimpinan masa kini digantikan oleh Ratu Rara .

Kekuatan Ilmu Ratu Laut Selatan dapat menaklukan Nyi Blorong, lalu setelah ditaklukan menjadi pembantu pada istana laut selatan, sebelum ia diusir karena perseteruannya dengan Nyi Roro Kidul, pilar benderanya didaratan tak lain membangun Borobudur.

Pengetahuan masyarakat pada umumnya merujuk pada 3 tokoh, yaitu Kanjeng Ratu Kidul & anak asuhnya Nyi Roro Kidul serta jin keturunan iblis Nyi Blorong yang pernah ditaklukan saat itu.

Legenda cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Kepercayaan akan adanya penguasa lautan di selatan Jawa (Samudra Hindia) terutama dikenal oleh Suku Sunda dan Suku Jawa. Orang Bali juga meyakini adanya kekuatan yang menguasai pantai selatan ini.

Senjata andalan Ratu Laut Selatan Rara kirana adalah Panah 7 Penjuru Mata Angin & Tombak Nirwana Cakra Langit yang pernah di pinjamkan oleh Sunan Kalijaga untuk mengalahkan Prabu Siliwangi, lalu Sunan Gunung Jati menempa senjata tersebut dijuluki Karera Reksa dan menjadi Pusaka Agung Buana. Setelah itu pusaka tersebut dikembalikan kembali ke pemiliknya.

Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi memperkenalkan Sunan Kalijaga kepada tantenya Ratu Laut Selatan / Ratu Rara Kadita anak dari Prabu Siliwangi setelah itu Ratu Laut Selatan menjadi muslim, lalu Sunan Kalijaga menjadikan ia istri spritualnya tanpa keturunan & hanya agar dapat meminjam tombaknya.

Sunan Kalijaga sebagai suami dari Ratu Laut Selatan Ratu Rara Kadita anak dari Prabu Siliwangi tak mengetahui taktik sang suami, Konon Sunan Kalijaga mempersunting anaknya Prabu Siliwangi karena ingin meminjam Tombak Nirwana Cakra Langit kepunyaan Ratu Rara Kadita untuk mengalahkan Prabu Siliwangi atas arahan Sunan Gunung Jati cucu dari Prabu Siliwangi. Lalu pertarungan kedua terjadi selama seminggu dan dimenangkan oleh Sunan Kalijaga, kekalahan ini menjadikan Prabu Siliwangi yang kekuasaannya sampai Kesultanan Cirebon kurang suka dengan Kesultanan Demak, dan otomatis Ratu Pantai Selatan sakit hati saat itu kepada Sunan Kalijaga yang pernah dikalahkan Ayahnya.

Sunan Kalijaga memiliki hubungan mendalam dengan Putri Rara Kadita karena aspek yang sama, yaitu air (dalam bahasa Jawa, kali memiliki arti "sungai"). Panembahan Senopati (1584–1601), pendiri ekspansi imperial Mataram, mencari dukungan dewi dari Samudra Selatan Kanjeng Ratu Kidul dan Nyai Loro Kidul di Pemancinang, selatan Jawa, untuk menjadi pelindung khusus keluarga bangsawan Mataram. Ketergantungan Senopati pada Sunan Kalijaga dan Nyai Loro Kidul menurut catatan sejarah mencerminkan ambivalen Dinasti Mataram terhadap Islam dan kepercayaan asli Jawa.[10]

Ibu Ratu Kidul (juga disebut Ratu Rara Kadita) adalah tokoh legendaris Indonesia yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa & Bali. Tokoh ini dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia). Menurut legenda Sunda, Nyi Rara Kadita mulanya merupakan Putri Prabu Siliwangi dari Ratu Jin penguasa daratan yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya.

Dalam perkembangannya, masyarakat spritual mengakui Putri Rara Kadita adalah anak dari Sri Baduga Maharaja dengan Ratu Jin Penguasa Daratan ketika beliau tersesat di hutan, Kedudukan Nyai Loro Kidul / rara kadita sebagai Ratu Laut Selatan keturunan setengah jin & manusia di tanah Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain juga dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa.

Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Ia memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain.

Menurut kepercayaan, ia merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram dan Yogyakarta, dimulai dari Panembahan Senapati hingga sekarang. Ia juga menjadi istri spiritual Susuhunan Surakarta. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.

Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari.[1] Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari.[2] Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.[3]

Dalam kejawen Kanjeng Ratu Kidul dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.

Ratu Pagedongan adalah putri Raden Panji, seorang putra raja Jenggala, dengan Retnaning Dyah Angin-Angin yang merupakan putri lelembut. Saat membuka hutan (babat alas) Sigaluh, pohon beringin putih yang merupakan pusat kerajaan lelembut ikut tumbang. Roh raja lelembut, Prabu Banjaran Seta, masuk ke dalam tubuh Raden Panji sehingga ia menjadi semakin sakti. Dengan demikian, kekuasaan hutan Sigaluh dan kerajaan lelembut menjadi miliknya. Retnaning Dyah Angin-Angin adalah adik dari Prabu Banjaran Seta.

Saat Ratu Hayu lahir, kakek Ratu Hayu yang bernama Eyang Sindhula datang dan memberinya nama Ratu Pagedongan dengan harapan ia menjadi wanita tercantik di seluruh alam. Setelah beranjak dewasa, Ratu Pagedongan meminta kakeknya agar kecantikannya abadi. Hal tersebut dapat terjadi hanya jika Ratu Pagedongan menjadi lelembut. Setelah menjadi lelembut, Raden Panji menyerahkan laut selatan di bawah kekuasaan putrinya, sampai saatnya ia bertemu dengan Wong Agung ("orang besar") yang memerintah Jawa.

Lara Kidul Dewi Nawangwulan adalah ratu sebuah kerajaan kecil pada masa Kerajaan Majapahit. Ia adalah keturunan Bhre Wengker (1456-1466), seorang raja Majapahit. Suaminya adalah Jaka Tarub, sementara ia sendiri menjadi salah satu dari tujuh bidadari yang mandi di telaga. Keduanya memiliki putri bernama Dewi Nawangsih. Nawangsih menikah dengan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, pangeran Majapahit yang diangkat anak oleh Jaka Tarub. Keduanya adalah moyang dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dalam legenda, saat Nawangwulan sampai di khayangan, ia ditolak karena sudah berbau manusia. Nawang Wulan kembali turun ke bumi tetapi tidak bermaksud kembali ke suaminya. Ia naik gunung Merbabu dan meloncat ke laut selatan untuk bunuh diri. Di laut selatan, Nyi Nawang Wulan perperang dengan Nyi Roro Kidul dan memperoleh kemenangan, sehingga ia menguasai laut selatan. Dengan demikian, Nawangwulan menjadi salah satu dari tiga penguasa laut selatan disamping Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong.

Dalam versi lain, penguasa khayangan menjadikan Nawangwulan penguasa laut kidul karena ia sudah tidak layak untuk tinggal di khayangan, tetapi juga tidak pantas untuk kembali tinggal di antara manusia di bumi. Semenjak saat itu, Nawangwulan dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul.

Kwan Im adalah bodhisatwa welas asih dalam ajaran Buddha Mahayana. Ia bersumpah tidak akan beristirahat hingga ia berhasil membebaskan seluruh makhluk hidup dari penderitaan samsara (atau kelahiran kembali berulang ke dunia). Di China, para nelayan berdoa kepadanya agar selamat selama di laut mencari ikan. Itulah sebabnya Bodhisatwa Kwan Im juga dijuluki Kwan Im Laut Selatan,[4] yang sebenarnya merujuk pada Laut Cina Selatan.

Pada saat terjadi diaspora penduduk China ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Kwan Im Laut Selatan dianggap sebagai pelindung para imigran tersebut. Seluruh wilayah di selatan China (termasuk Laut China Selatan) dipercaya berada di bawah perlindungan (kekuasaan) Kwan Im. Oleh sebab itu, pemujaan terhadap Kwan Im cukup populer di Indonesia, misalnya di Klenteng Sanggar Agung di Surabaya dan Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa di Simpenan, Sukabumi.[5]

Menurut legenda yang beredar di Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Simpenan, Sukabumi, Ratu Pantai Selatan merupakan putri Raja Thailand,[5] yaitu Raja kelima dari dinasti Chakri, Chulalongkorn.